Sabtu, 12 Maret 2016

Benang Merah Chapter 4 - Kenangan (Gintama Fiction)

Cover (c) to the owner

[ Chapter 4 - Kenangan ]


Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura

Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."




Note!
Cast adalah murni milik Sorachi Hideaki. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita dan tidak menyebarkannya tanpa izin penulis. Bagi yang tidak suka dengan pairing OkiKagu silahkan angkat kaki dan pergi sejauh mungkin dari dunia fiksi saya. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati.

~~~

(8 Tahun Lalu)

"Setiap hari dia selalu datang lebih awal tapi kenapa hari ini dia belum tiba, aru?"

Gumamnya sembari mengayunkan kedua kaki. Obsidiannya tak henti mencari sosok yang sejak tadi dinantikan olehnya. Beberapa kali ia mendengus lesu melihat teman-temannya yang lain tengah bermain dengan riangnya. Hanya ia yang masih duduk diam dan menunggu. Payung berwarna ungu setia menemani dan melindunginya dari sinar mentari yang mulai tertutupi awan mendung.

"Kagura-chan! Apa kau masih menunggu Hisashi-kun?"

"Ya. Aku akan ikut bermain setelah ia datang, aru!"

Sahutnya pada bocah gembul yang tengah sibuk menggaris tanah menggunakan ranting pohon. Kagura kembali mendengus lesu setelah menyadari langit semakin mendung. Ia sudah menunggu cukup lama hanya untuk bermain bersama teman-temannya tapi langit seolah tak mengizinkan.

"Permisi, apakah kau mengenal gadis yang bernama Kagura?"

Matanya membulat ketika seorang wanita berpakaian kimono menghampirinya. Terlebih karena wanita itu mencarinya sampai ke tempat ia bermain. Firasat tak mengenakkan muncul bersamaan dengan raut sedih yang muncul di wajah cantik wanita itu. Wajah yang terlihat mirip dengan seseorang yang dikenalnya. Sebuah payung yang tak asing pun menarik perhatiannya sejak tadi.

"Aku yang bernama Kagura, aru."

"Ternyata kau benar-benar berbicara dengan logat yang unik, Kagura-chan. Ah! Maaf aku lupa memperkenalkan diri. Aku adalah ibu dari Hongo Hisashi."

Wanita itu memberinya senyum ramah. Namun, tetap saja Kagura merasakan kesedihan dalam senyuman wanita itu. Senyum palsu tak bermakna yang menyembunyikan sesuatu. Semakin menguat pula firasat buruknya ketika wanita itu memberikan sebuah surat padanya.

"Dia memintaku untuk memberikan ini pada Kagura-chan dan menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa ikut bermain hari ini."

Maniknya menatap sendu surat yang diberi sticker doraemon itu. Kagura yakin ada hal yang tak ingin diketahuinya tertulis di dalam surat tersebut. Oleh sebab itu, ia tak langsung membukanya dan memilih untuk mengorek informasi langsung dari wanita itu.

"Ada apa sebenar-"

"Sebagai ibunya aku sangat senang mengetahui Hongo memiliki teman yang cantik dan manis seperti Kagura-chan. Aku juga mengucapkan terimakasih pada Kagura-chan karena mau berteman dengan putraku. Ah! Dia juga memintaku untuk mengembalikan payung milik Kagura-chan."

Diletakkannya payung bermotif sakura itu tepat di samping Kagura. Memunggungi gadis vermillion itu lalu mulai melangkah pergi tanpa mengatakan apapun. Meski otaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan tapi ia tak bisa memaksa wanita itu untuk mengatakan semua padanya. Maniknya kembali menatap surat yang masih digenggamnya. Perlahan tapi pasti tangan mungilnya membuka amplop surat.


Kagura-chan,
Maaf karena tiba-tiba memberikan surat ini padamu. Aku bingung bagaimana harus memberitahukannya karena aku tak ingin membuatmu khawatir tapi sepertinya aku harus mengatakan semuanya dengan jujur. Sejak awal aku bertemu dengan Kagura-chan keadaanku sudah seperti ini. Sejak kita masih duduk di taman kanak-kanak dan berkenalan tubuhku sudah lemah. Kita sudah berteman selama empat tahun tapi aku selalu menyembunyikannya karena aku ingin terlihat kuat. Aku kagum pada Kagura-chan yang selalu tampak sehat dan bersemangat dan itu pula alasan kenapa aku selalu menahannya.

Tubuhku sedikit berbeda dengan yang lain. Aku sangat mudah lelah dan harus mengkonsumsi obat-obatan setiap hari. Itulah alasan kenapa aku tak pernah mengikuti jam olahraga saat di sekolah. Itu juga alasan kenapa aku terkadang hanya menjadi penonton saat Kagura-chan dan yang lainnya bermain. Aku tidak bisa membebani tubuhku dengan kegiatan fisik yang berat. Aku selalu berbohong pada Kagura-chan dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja padahal sebenarnya tubuhku tak sanggup melakukan apa yang Kagura-chan dan lainnya lakukan.

Oleh sebab itu, aku menulis surat ini untuk meminta maaf pada Kagura-chan karena telah membohongimu selama empat tahun ini. Aku harus pergi ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Benar-benar menyebalkan, bukan? Saat aku ingin terus bermain bersama Kagura-chan tubuhku justru melemah dan kita bahkan harus terpisah benua. Aku harap Kagura-chan masih mengingatku dan mau mengunjungiku saat aku kembali nanti. Aku akan berjuang demi kesembuhanku agar aku bisa bermain bersama Kagura-chan lagi ^^

P.S : Terimakasih sudah meminjamkan payungmu padaku saat pertemuan pertama kita

Hongo Hisashi.


'Tik! Tik! Tik!'

Awan mendung yang menyelimuti langit kini menghasilkan rintik-rintik kecil. Membasahi tanah kering yang sudah lama tak terjamah berkah langit. Bocah-bocah yang berada di sekitarnya sontak berlarian menuju rumah masing-masing. Namun, ia tetap duduk diam di bangku taman dengan kepala tertunduk. Tak mempedulikan guyuran hujan yang seolah menghujam payungnya.

"Kau juga datang saat hari pemakaman mommy, kan? Dan sekarang kau datang lagi saat aku ditinggalkan oleh temanku. Kau sepertinya sangat ingin membuat hatiku menjadi kelabu sepertimu, aru."

Lirihnya beriringan dengan hujan yang semakin deras. Kilatan petir muncul di langit seolah menyahut ucapan gadis itu. Sengaja ia membiarkan kaki jenjangnya terguyur hujan hingga sepatunya basah. Kagura tak ingin menangis karena ia ingin terlihat sebagai gadis yang kuat. Bukankah itu yang dikatakan oleh Hongo Hisashi?

Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan harapannya. Bulir-bulir itu lepas dengan mudahnya padahal Kagura telah berusaha untuk membendungnya. Ia benci menyadari bahwa langit seolah memojokkannya dengan ikut menangis. Mereka -hujan- juga memojokkannya saat hari pemakaman ibunya. Kagura selalu memiliki kenangan yang buruk saat hujan turun.

"Aku tak ingin berlama-lama disini bersamamu, aru."

Lirihnya setelah menghapus kasar sungai kecil yang mengalir di pipinya. Sejenak menatap langit mendung yang dianggapnya seperti musuh. Tak lupa ia membawa payung bermotif sakura yang sejak awal memang miliknya. Berjalan dengan pandangan kosong di bawah hujan membuatnya terlihat seperti bocah kesepian.

Sampai akhirnya manik biru laut itu tertuju pada sosok berambut cokelat terang yang jauh lebih menyedihkan darinya. Bocah itu duduk di tanah dengan posisi mendekap kedua lututnya. Membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Kagura berhenti menyadari bahwa bocah laki-laki itu tengah menangis dilihat dari punggungnya yang bergerak naik turun. Hatinya terpanggil untuk menghampiri bocah itu dan dengan alami tubuhnya bergerak.

"Laki-laki tidak boleh menangis hanya karena hujan, aru."

Tangisah bocah laki-laki itu seketika berhenti setelah mendengar suara Kagura dibalik riuhnya hujan. Kagura sengaja mencondongkan payungnya ke depan agar bocah itu tak bisa melihat wajahnya. Ia hanya tak ingin bocah laki-laki itu melihat matanya yang sembab sehabis menangis. Namun, jauh di dalam hati Kagura merasa lega mengetahui ada bocah lain yang juga cengeng dan menangis di bawah hujan sepertinya.

"A-arigatou..."

Lirih bocah berambut cokelat terang itu sembari membuka payung bermotif sakura pemberiannya. Kagura kembali melanjutkan langkahnya dan kali ini sedikit berlari sebelum bocah itu sempat mengatakan sesuatu. Kagura mendengar bocah itu berteriak memanggilnya tapi ia tak berniat untuk menemani bocah itu lebih lama karena ia yakin bocah itu sudah merasa lebih baik setelah mendapatkan bantuan darinya.

"Ah, aku meminjamkan lagi payung sakura itu kepada orang lain. Apakah payung itu akan kembali lagi padaku, aru?"

~~~


"Hoam...."

Mulutnya terbuka lebar sembari mengusap pelan kedua matanya. Perlahan tapi pasti kelopaknya terbuka. Keningnya berkerut saat mendapati hanya ada dirinya di kelas tersebut. Maniknya lalu beralih pada jam dinding yang terpajang manis di depan kelas. Berusaha untuk memastikan sesuatu.

"Ini memang jam istirahat tapi tidak biasanya semua orang keluar dari kelas, aru."

Gumamnya lalu beranjak dari zona nyamannya. Langkah kecilnya berhenti di depan pintu kelas ketika telinganya menangkap gemuruh suara dari bawah. Mendekat pada balkon dan memusatkan perhatiannya pada kerumunan murid yang saling bersorak di lapangan.

"Sepertinya ada hal seru terjadi disana, aru."

Kaki jenjangnya melangkah cepat menuruni tangga. Beberapa murid juga berjalan ke arah yang sama. Kerumunan dan sorakan itu memang mengundang perhatian sehingga membuat orang-orang penasaran. Ingin mengetahui apa yang terjadi disana.

"Aku harus bisa sampai di barisan depan, aru."

Kagura menelusup masuk di antara puluhan manusia yang berhimpitan. Mencari celah untuk bisa sampai ke depan. Memaksa tubuh mungilnya untuk menghancurkan dinding manusia itu. Kagura bernapas lega ketika akhirnya berhasil menerobos barisan manusia itu. Sudah sejak tadi ia hampir kehabisan oksigen akibat udara yang terasa tipis. Namun, apa yang dilihatnya kemudian benar-benar membuatnya merasa idiot.

"Kalahkan murid baru itu, Sougo!"

"Patahkan tangan orang itu, murid baru!"

Keningnya seketika berkerut melihat dua manusia yang tak asing. Keduanya saling beradu panco dengan posisi tangan yang tak bergerak sama sekali. Yang satu hanya memasang senyum lugu sementara yang lain tampak bersemangat untuk menghancurkan lawannya. Meja yang menjadi tumpuan bahkan bergetar akibat tenaga keduanya saling beradu.

"Jadi dua orang bodoh ini yang mengundang perhatian banyak orang, aru."

Batinnya sembari mengamati dua orang yang tengah menjadi pusat perhatian. Pikirannya berjalan mundur ketika mengingat apa yang telah dua orang itu lakukan padanya hari ini. Ada dendam yang harus dibalaskan pada mereka berdua. Begitulah pikirnya.

"Apa kau datang untuk mendukung kakakmu ini, Kagura?"

"Eh?"

Kagura tersentak saat suara khas milik Kamui membuyarkan lamunannya. Begitu pula dengan laki-laki berambut cokelat terang yang kini memperhatikan kakak beradik itu dengan seksama seolah ingin menemukan sebuah jawaban. Sougo menghembuskan napasnya kasar setelah yakin dengan jawaban yang ia dapatkan.

"Kakak? Pantas saja aku merasa kesal saat melihat wajah bodohmu itu. Wajah bodoh kalian memang terlihat mirip dan kelakuannya juga sama-sama menyebalkan. Benar-benar kakak dan adik yang merusak pemandangan."

"Woi, siapa yang kau sebut bodoh? Jangan samakan aku dengan kakak idiot yang suka membuat masalah itu, aru."

Protesnya sembari menendang kuat meja yang menjadi tumpuan siku keduanya. Meja itu terpental lalu terbalik menyebabkan pertandingan panco mereka terpaksa dihentikan. Kagura mendecih kesal sementara murid-murid yang ada disana kini bergidik ngeri. Tak menyangka bahwa gadis mungil itu memiliki tenaga bak hercules.

"Kau seharusnya tidak mengganggu pertandingan antara dua laki-laki, Kagura."

"Yang aku lihat hanyalah dua orang tak berotak tengah sibuk beradu otot di lapangan sekolah, aru. Apa kau ingin membuat masalah di hari pertamamu, Kamui?"

"Si rambut cokelat ini yang telah menyeretku ke dalam masalah padahal aku sudah berusaha menjadi murid yang baik, loh."

Kagura mengalihkan pandangannya ke arah Sougo. Memberikan tatapan mematikan padanya. Seolah siap untuk menelan bulat-bulat laki-laki berambut cokelat terang itu. Namun, bukan berarti pula ia membela Kamui. Ia justru ingin menghajar keduanya tapi tentu saja Kagura harus mengurungkan niatnya untuk sekarang.

"Apa kau sedang mengadu pada adikmu, Bakamui-kun?"

"Aku hanya mengatakan kebenaran, loh. Aku dipaksa keluar dari kelas di hari pertamaku masuk karena kau terus mengeluh soal tempat duduk padahal kau bisa mengambil kursi di gudang. Benar-benar egois yang menyebalkan dan memuakkan."

"Sejak awal itu adalah kursi milikku tapi kau dengan seenaknya mengambil tempatku dan membuatku dipaksa keluar dari kelas."

"Jadi pada akhirnya kalian berdua diusir dari kelas, aru? Dan pertandingan panco tadi hanya untuk memperebutkan sebuah kursi, aru?"

"Ya, mungkin menurutmu itu terdengar tak penting tapi kau tidak akan mengerti urusan laki-laki ditambah aku tak berniat mengalah demi kakak bodohmu itu."

Kagura menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Berulang kali ia melakukan hal itu. Seolah ingin menyerap seluruh energi alam yang ada di sekitarnya. Kedua tangannya mengepal dan dalam hitungan detik ia mendaratkan pukulan di wajah Sougo dan Kamui secara bersamaan.

"Aku tidak akan membiarkanmu melukai wajahku lagi, China."

"Kau harus belajar untuk menghormati kakakmu, Kagura."

Sahut keduanya ketika berhasil menangkis tinju Kagura. Tentu saja gadis itu tak berputus asa. Dengan sigap ia menarik lengan keduanya lalu memelintir lengan yang jauh lebih besar dari lengannya tersebut. Bukan hal yang mustahil baginya karena soal tenaga ia sangat layak disamakan dengan Kamui dan Sougo.

"Ini menjadi tidak terkendali! Cepat laporkan pada sensei!"

Teriak salah satu murid di kerumunan ketika tiga murid itu mulai mengincar wajah satu sama lain. Kagura mengincar Sougo dan Kamui secara bergantian karena ia memang memiliki dendam pada keduanya. Sougo mengincar kakak beradik itu karena memang ingin melawan keduanya. Kamui jelas hanya mengincar Sougo karena perkelahian konyol mereka. Ia hanya menghindari pukulan atau tendangan dari Kagura karena sejak awal ia tak berniat melawan adiknya.

'Priiiittttt!'

Murid-murid yang tadi berkerumun menyaksikan tingkah gila trio aneh itu kini membubarkan diri. Peluit yang berdengung di telinga ketiganya membuat mereka seketika mematung. Sougo yang sudah biasa mendengar bunyi itu hanya mendecih kesal karena merasa kesenangannya diganggu.

"Apa kalian sedang mengadakan festival di lapangan sekolah, sanbaka?"
 
"Woi, jangan masukkan aku dalam kelompok mereka berdua, aru."

"Kami hanya sedang berlatih adegan perkelahian untuk film pendek produksi kami yang berjudul 'Okita dan Idiot Bersaudara'."

Sougo berucap asal dengan santainya. Ingin sekali Kagura menyahut perkataan Sougo tapi ia tak ingin membuat masalah menjadi lebih runyam karena saat ini mereka sedang berhadapan dengan Hijikata Toshiro. Guru killer yang tak kenal ampun dalam memberi hukuman. Perkataan Sougo juga sangat tak meyakinkan untuk dijadikan sebuah alasan. Bagaimana mungkin si guru killer itu mempercayainya.

"Kami berusaha untuk membuat adegan yang terlihat nyata dan karena itu pula kami menjadi pusat perhatian murid-murid yang lain, sensei."

"Kamui juga berusaha membodohinya, aru? Kalian menjadi kompak seperti ini saat dalam keadaan terdesak. Bagaimana ini? Apa aku juga harus mengatakan sesuatu untuk memperkuat pernyataan mereka, aru?"

"Eh, jadi kau ingin membuat film pendek bersama teman-temanmu, Sou-chan?"

"Aneue?!"

Sougo terkejut saat kakaknya muncul dari balik punggung Hijikata. Senyuman ramah terukir manis di wajah pucatnya. Laki-laki bersurai hitam itu hanya diam tapi matanya memperingatkan ketiga murid nakal itu untuk tak berbuat ulah di depan Okita Mitsuba.

"Terimakasih sudah mengantarkanku pada adikku, Toshiro-san."

Ucapnya sebelum laki-laki bersurai hitam itu meninggalkan mereka berempat. Suasana di sekitar mereka sontak berubah menjadi canggung. Terutama bagi Kagura yang lagi-lagi harus berperan sebagai teman akrab seorang Okita Sougo. Laki-laki yang mengisi daftar pertama orang yang paling dibencinya.

"Kau terlihat mirip dengan kakakmu tapi kesan pertamanya benar-benar berbeda. Kakakmu memancarkan aura positif sedangkan adiknya memancarkan aura negatif yang kuat."

"Setidaknya keluargaku masih memiliki gen positif dibandingkan dengan keluarga kalian berdua."

Balas Sougo pada Kamui sembari membawa Mitsuba menuju tempat teduh di pinggir lapangan. Mitsuba melambaikan tangannya pada Kagura dan Kamui. Mengisyaratkan mereka untuk ikut berteduh. Kagura membisikkan sesuatu pada Kamui mengenai wanita berwajah pucat itu. Maniknya sontak membulat setelah mendengar penjelasan Kagura.

"Apa kalian semua sudah makan? Kebetulan aku membeli makanan saat di perjalanan dan sepertinya cukup untuk kalian bertiga."

Mitsuba membuka kotak makanan yang berisi strawberry cake. Kagura yang sejak pagi belum mengunyah apapun kini berbinar-binar. Manik biru laut Kamui pun terbuka lebar ketika indera penciumannya menghirup bau makanan. Sougo diam-diam menyeringai melihat kakak beradik yang menurutnya lugu itu.

"Arigatou onee-san."     "Arigatou onee-san."

Sahut kakak beradik itu bersamaan lalu mengambil beberapa potong dan langsung mengunyahnya tanpa ampun. Mitsuba hanya tersenyum kecil melihat wajah lucu keduanya. Tak lama sampai akhirnya kakak beradik itu berhenti mengunyah dengan mata membelalak.

"Pe...pedas!"

"Apa ini yang dinamakan inovasi rasa, aru?!"

Mitsuba menatap heran Kamui dan Kagura yang tampak menahan sesuatu. Keduanya sadar betul bahwa mereka sedang diperhatikan oleh si pemberi jadi dengan terpaksa mereka menelan bulat-bulat makanan yang belum dikunyah dengan sempurna itu. Tak ingin menyakiti perasaan Mitsuba yang telah berbaik hati memberi makanan -yang sebenarnya tak layak makan- pada mereka. Itu jauh lebih baik karena mengunyahnya lebih lama hanya akan membuat rasa pedasnya menyebar di lidah.

"Kau tak mau memakannya, Sou-chan?"

"Aku sudah kenyang."

"Kalau begitu kalian jangan ragu-ragu jika ingin menambah. Kalian boleh menghabiskannya karena Sou-chan bilang ia sudah kenyang."

Mitsuba kembali tersenyum ramah pada kakak beradik yang kini tengah tersenyum kecut. Rasa pedas yang seharusnya tak ada dalam resep strawberry cake benar-benar membuat lidah keduanya trauma. Tentu saja mereka tak berniat untuk menambah barang secuil.

"Apa kau tak membeli minuman, Aneue?"
 
"Ya! Kami sangat membutuhkan air, aru!"

Mitsuba merogoh tas kecil yang dibawanya. Manik biru laut itu berbinar saat melihat botol yang seperti oasis di tengah padang pasir. Dengan sigap Sougo meraih botol tersebut lalu menyeringai pada Kamui dan Kagura.

"Aku merasa kasihan melihat daun-daun di pohon ini menguning dan berguguran karena kekurangan air."

'Byuurrr'

Dengan wajah tanpa dosa Sougo menyiramkan air yang ada dalam botol hingga tak bersisa satu tetes pun pada sebuah pohon yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk. Meremas lalu membuang botol kosong itu ke tong sampah khusus plastik yang ada di dekatnya.
 
"AKU BERSUMPAH  AKAN MEMUNTAHKAN MAKANAN INI DI WAJAHMU, BRENGSEK!"

Sougo memicingkan matanya pada Kagura dan Kamui. Kamui yang mengetahui bahwa sejak awal Sougo tak berniat membantu hanya bersikap santai. Membuka sedikit bibirnya untuk membiarkan angin masuk dan meredakan rasa pedas di lidahnya.

Kagura yang berharap menemukan oasis kini harus menerima kenyataan pahit karena itu semua hanyalah fatamorgana yang dibuat oleh Sougo. Bukan hanya lidahnya yang terasa panas. Kepala dan darahnya kini terasa mendidih ingin menghajar laki-laki berambut cokelat terang itu.

"Jangan seperti itu pada temanmu, Sou-chan."

Mitsuba mendengus melihat kelakuan jahil adiknya. Ya, sejak awal ia menyadari betul apa yang terjadi pada Kamui dan Kagura. Rasa pedas yang ada pada kue tersebut memang berasal dari tabasco yang ia tambahkan. Mitsuba memang memiliki kebiasaan aneh dimana ia selalu menambahkan tabasco pada semua makanannya. Dan ia juga akan menambahkan bahan itu pada makanan yang ia berikan untuk orang lain. Mereka mungkin menderita akibat rasa pedasnya tapi melihat mereka berdua tetap menelan makanan itu membuatnya merasa dihargai.

"Terimakasih sudah mencicipi makanan khas Okita Mitsuba."

Ucapnya sembari menyodorkan sebuah botol pada Kagura. Tanpa basa-basi Kagura segera meneguk setengah bagian lalu memberikan sisanya pada Kamui. Mitsuba lagi-lagi tersenyum melihat mereka.

"Bagaimana kau bisa datang ke sekolah, onee-san? Bukankah kau sedang dirawat, aru?"

"Aku sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin dan ingin mengantarkan makanan untuk Sou-chan karena tadi pagi ia tak sempat sarapan tapi sepertinya ia sudah makan di sekolah. Lagipula, terus berada di rumah benar-benar membosankan."

Mitsuba kini memusatkan pandangannya pada Kamui dan Kagura. Memandangi keduanya dengan teliti dan bergantian. Senyuman kecil kembali terukir di wajahnya. Entah apa yang lucu dari mereka hingga membuat wanita itu terus tersenyum.

"Jadi ini adalah kakakmu, Kagura-chan?"

Kagura mengangguk. Mitsuba menatap wajah Kamui yang entah kenapa memancarkan aura bocah nakal yang mirip seperti adiknya. Kamui hanya memberikan senyum lugu seperti biasanya. Namun, jauh di dalam sana ia teringat akan sosok ibunya ketika melihat senyum hangat wanita itu.

"Siapa namamu?"

"Kamui."

"Entah kenapa aku merasa kau mirip seperti adikku, Kamui-kun."

"Tolong jangan samakan aku dengannya."

"Aku juga tak mau disamakan denganmu, Bakamui."

"Bagaimana menurutmu, Kagura-chan? Bukankah mereka memiliki kesamaan?"

"Mereka sama-sama bodoh dan menyebalkan, aru."

Jawabnya dengan wajah malas. Mitsuba tertawa kecil melihat tingkah mereka yang masih seperti bocah. Tangannya lalu merogoh tas kecil yang dibawanya. Mengambil sebuah ponsel dengan senyum mencurigakan di wajahnya. Ia beranjak dari duduknya dan maju beberapa langkah. Membalikkan tubuhnya menghadap mereka bertiga.

"Boleh aku mengambi foto kalian bertiga?"

"Hah?!"        "Hah?!"        "Hah?!"

Sahut ketiganya serentak. Mitsuba sudah mengabadikannya dalam bentuk foto tepat saat mereka menyahut. Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka. Entah kenapa ia menyukai hubungan yang dimiliki Sougo dengan kakak beradik itu. Meski ia sendiri tak yakin bahwa mereka benar-benar teman akrab. Namun, ada ikatan istimewa yang terjalin antara mereka.

"Kalian akan merindukan momen kebersamaan ini setelah lulus dari sekolah jadi anggap saja ini sebagai kenangan."

"Sejujurnya aku sangat senang jika mereka cepat lulus, aru. Jadi tidak mungkin aku merindukan mereka, aru."

"Aku juga tak mungkin merindukan adikmu yang gila itu, onee-san."

"Tolong simpan foto itu baik-baik, Aneue. Aku akan mengirimkan santet pada mereka berdua menggunakan foto itu."

Mitsuba kembali ke tempat duduknya untuk mengambil tas. Membiarkan trio aneh itu saling berdebat. Meski selalu bertengkar dan saling mengejek satu sama lain. Ia tetap merasa senang melihat adiknya memiliki orang-orang yang mampu mengusir kesepian dalam hatinya.

Ya, ia paham betul bagaimana sifat adiknya yang terkesan tak menyenangkan sehingga tak banyak yang mau berteman dengan Sougo. Kagura dan Kamui pun mengatakannya secara langsung bahwa sikap adiknya itu menyebalkan. Namun, itulah yang membuat mereka menarik. Sekumpulan orang dengan sifat yang sama dan kekanak-kanakan.

"Apa kalian sudah selesai?"

Celetuknya membuat trio aneh itu mematung dengan posisi yang tak menyenangkan. Kagura mencekik leher Kamui dan Sougo. Sougo mencekik leher Kamui dan Kagura. Kamui mencekik Sougo dengan kedua tangannya.

"Kau sudah ingin pulang, Aneue?"

"Ya. Sebentar lagi waktu istirahat kalian akan habis, kan? Lagipula, peramal cuaca bilang akan turun hujan siang ini jadi aku harus pulang sebelum hujan turun."

"Hati-hati di jalan, onee-san."

Kamui dan Kagura berucap bersamaan ketika wanita pucat itu berbalik meninggalkan mereka. Sougo hanya menatap punggung kakaknya dengan wajah khawatir. Baru beberapa meter sampai akhirnya ia kembali ke tempat Sougo dan lainnya. Merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya.

"Aku hampir lupa memberikan payung ini padamu, Sou-chan."

Mitsuba mengulurkan sebuah payung bermotif sakura pada Sougo. Wajah terkejut tak bisa Sougo sembunyikan tapi dengan sigap ia berusaha bersikap normal. Namun, tetap saja ia tak bisa mengendalikan denyut jantungnya yang terlanjur berpacu cepat akibat kehadiran benda yang tak asing itu.

"Jangan sampai kau pulang terlambat, Sou-chan."

"Ya."

Mitsuba kembali melangkah pergi bersamaan dengan keheningan yang tercipta antara tiga manusia di belakangnya. Kamui mendelik ke arah Kagura yang tampak fokus memperhatikan sesuatu. Begitu pula dengan Sougo yang terkesan memaksakan mimik wajahnya.

"...gura."

"Kagura."

Kagura tersentak saat Kamui menepuk pundaknya. Ia hanya menoleh dengan wajah datarnya. Pikirannya masih terfokus pada sesuatu yang sejak tadi menarik perhatiannya. Ya, payung bermotif sakura yang tampak familiar. Membuat berbagai macam pertanyaan memenuhi kepalanya.

"Itu pasti hanya payung dengan motif yang sama, aru."

"Kau memikirkan sesuatu, Kagura?"

"Tidak. Aku hanya merasa pusing dan aku yakin ini adalah efek samping karena terlalu lama berada di dekat kalian berdua, aru."

Kagura melangkah pergi tanpa menatap satu pun dari mereka. Pikirannya terfokus pada ingatan delapan tahun lalu yang samar-samar. Jika bukan karena kehadiran payung itu maka ia tak akan mengingatnya. Seorang bocah cengeng yang menangis sendirian di bawah hujan.

"Tidak mungkin itu dia, aru."

"Jangan lupa kembalikan celanaku, China!"
 

 ~ To Be Continued ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner