Sabtu, 05 Maret 2016

Benang Merah Chapter 3 - Takdir (Gintama Fiction)

cover (c) to the owner

[ Chapter 3 - Takdir ]

Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura

Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."




Note!
Cast adalah murni milik Sorachi Hideaki. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita dan tidak menyebarkannya tanpa izin penulis. Bagi yang tidak suka dengan pairing OkiKagu silahkan angkat kaki dan pergi sejauh mungkin dari dunia fiksi saya. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati.


~~~

"Tidak ada yang namanya 'teman' antara pria dan wanita."

"..."

"Itu karena pria memiliki sensor otomatis yang akan bereaksi saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan wanita."

Laki-laki berambut cokelat terang itu menunjuk dada kirinya. Bagian dimana jantungnya terletak. Merasakan debaran yang semakin cepat ketika manik biru laut itu bertemu dengan manik kecokelatannya.

"..."

"Ya, sensor otomatis yang akan berdebar saat bertemu dengan orang yang menarik."

Kagura mendengus lesu mendengar ucapan laki-laki berambut cokelat terang itu. Apa yang dikatakan oleh Okita Sougo memang tak sepenuhnya salah juga tak sepenuhnya benar. Faktanya ada banyak orang yang berakhir sebagai pasangan padahal awalnya mereka adalah teman.

"Jadi kau ingin mengatakan bahwa aku dan Hongo tak bisa menjadi teman, aru?"

"Ya."

"Aku memang wanita yang menarik jadi wajar saja jika Hongo menyukaiku dan aku tidak merasa keberatan, aru."

"Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana bisa ia menyukai gadis dengan daya tarik nol sepertimu. Mungkin aku harus membawanya keluar dari rumah sakit itu agar dia sadar bahwa masih banyak gadis normal di dunia ini."

"Hah? Apa kau secara tidak langsung mengatakan bahwa aku tidak normal, aru?"

Sougo hanya tersenyum licik ketika Kagura akhirnya menyahut dengan nada tinggi. Ya, tak ada yang lebih menyenangkan baginya selain membuat orang lain kesal. Dan gadis itu adalah sasaran empuk bagi Sougo karena keluguan yang dimilikinya.

"Aku berkata seperti itu karena kau tidak memiliki poin penting yang menunjukkan jati dirimu sebagai wanita. Coba lihat Onee-san yang ada di seberang sana!"

Kagura memusatkan pandangannya pada seorang wanita berambut pirang yang tengah berjalan sendirian di seberang. Beberapa kali wanita itu digoda oleh laki-laki yang dilewatinya. Kagura menelan kasar ludahnya saat menyadari sesuatu mengenai wanita itu. Sesuatu yang sangat penting yang dimiliki oleh wanita itu tapi tak dimiliki oleh Kagura. Atau lebih tepatnya belum dimiliki oleh Kagura.

"OPPAI !"

Bagaikan tersambar petir di siang bolong. Kagura merasa benar-benar tertohok sekaligus berang. Di sisi lain Sougo hanya menyeringai puas melihat ekspresi kesal Kagura yang menurutnya fantastis.

"Ada apa? Kenapa kau diam saja, China?"

Kagura menundukkan kepalanya dalam. Memusatkan perhatiannya pada bagian dada yang nyaris rata. Bahkan ia sendiri berpikir bahwa bagian tubuhnya yang satu ini cukup mengenaskan hingga ia merasa ingin menangis.

"Jangan terlalu kecewa seperti itu, China. Masih banyak orang yang menyukai wanita berdada kecil jadi kau tidak perlu kha-"

"BUGH !"

Bogem mentah itu mendarat tepat di wajah Sougo. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya darah segar mengalir dari hidung laki-laki berwajah datar itu. Sementara yang memberikan tinju kini menyeringai puas.

"Jangan mengolok-olokku dengan hal seperti itu jika kau tidak ingin wajahmu dipenuhi lebam, aru. Bersyukurlah karena aku tidak mematahkan hidungmu, aru."

Kagura lalu beranjak dari duduknya dan memunggungi Sougo. Perlahan tapi pasti ia mulai melangkahkan kaki meninggalkan Sougo yang tengah dalam keadaan mengenaskan. Ia merasa sangat puas setelah membuat laki-laki itu mengucurkan darah. Ya, itu adalah ganjaran yang layak diterima olehnya setelah menghina fisik Kagura yang notabene masih dalam masa pertumbuhan.

"Dengan wajah seperti itu kau benar-benar terlihat seperti orang bodoh, aru."

"Cih! Dia benar-benar mempermalukanku!"

"Selamat tinggal si bodoh berwajah bonyok. Aku pulang duluan, aru."

"Awas saja kau, China!"

~~~

'Kriiiiing'

Dengan setengah sadar Kagura berusaha meraih jam yang berdering. Menekan tombol off di bagian belakang lalu mencampakkannya asal. Berusaha mengembalikan kesadarannya yang tersebar di penjuru kamar. Beberapa kali ia menguap lalu mengusap pelan kedua matanya yang terasa lengket.

"Yosh! Aku bangun tepat waktu, aru."

Gumamnya lalu berjalan tertatih menuju kamar mandi. Tak berniat untuk lebih dulu merapikan kamarnya yang berserak tak karuan bak gudang penyimpanan. Namun, langkahnya terhenti saat ia merasakan hal yang tak wajar diluar. Langkah pendeknya kini tertuju pada jendela kamar. Sinar mentari yang silau menyambutnya dengan sepenuh hati membuat matanya seketika menyipit.

"Apa ini benar-benar mentari pada pukul enam pagi, aru?"

"Bukankah ini terlalu terang, aru?"

Langkahnya kembali menuju ranjang. Menyingkirkan blanket besar yang ada di atasnya lalu meraih jam yang tadi dilemparnya asal. Matanya membelalak saat melihat jarum jam yang seperti teror baginya. Tubuhnya mulai berkeringat akibat rasa panik yang menyerang. Samar-samar ia mengingat apa yang dikatakan Kamui sesaat sebelum ia benar-benar terlelap kemarin malam.

"Pastikan kau memasang alarm dengan benar, Kagura."

"BAKA ANIKI !"

Ia berteriak frustasi sembari berlari menuju kamar mandi. Hanya tersisa tiga puluh menit sebelum bel sekolah berbunyi. Sedangkan perjalanan dari rumahnya ke SMA Edo membutuhkan waktu dua puluh menit. Bahkan tak ada kesempatan bagi Kagura untuk mandi dengan benar yang akhirnya disiasati dengan hanya mencuci muka dan menggosok gigi.

Memakai seragamnya asal hingga membuatnya tampak seperti bocah tak terurus. Tak lupa ia memasukkan dua aksesoris yang setia menghiasi rambutnya ke dalam tas sekolah. Berlari keluar dari rumah dengan menjinjing sepatu sekolahnya. Secepat mungkin ia berlari menuju halte terdekat demi menghemat waktu. Tak mempedulikan orang-orang yang menatapnya aneh.

"Kakak gila macam apa yang tega menjahili adiknya seperti ini, aru?!"

Tanpa basa-basi ia langsung memasuki bis yang kebetulan masih berdiam di halte. Mendudukkan dirinya di kursi bagian belakang dan langsung membenahi seragamnya yang tak karuan. Menguncir rambutnya seperti biasa dan memakai sepatu yang sejak tadi dijinjingnya. Kagura merasa puas saat akhirnya selesai membenahi penampilannya.

"Aku pasti akan membalasnya, Baka Aniki!"

Namun, baru saja ia merutuki kakaknya dan menghembuskan napas lega ketika petugas halte mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya terasa akan copot.

"Kepada para penumpang, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Dengan sangat terpaksa kami akan memindahkan semua penumpang ke bis selanjutnya yang akan tiba sepuluh menit lagi dikarenakan kerusakan yang terjadi pada mesin. Kami sangat menyesal atas apa yang terjadi."

"JANGAN BERCANDA PETUGAS SIALAN!"

"Aku sudah melakukan semua ini demi menghemat waktu dan itu semua sia-sia, aru? Aku bahkan tidak sempat untuk sekedar meneguk air dan kau dengan santainya mengatakan hal itu, aru?!"

"Ah, aku seperti menulis di atas air, aru."


Gumamnya dalam hati dengan pandangan kosong dan wajah tak bersemangat. Jiwanya terasa melayang akibat kemalangan yang menimpanya hari ini. Dan bisa dipastikan kemalangannya akan bertambah saat ia tiba di sekolah dan disambut oleh guru yang siap menghukumnya.

"Bertahanlah untuk hari ini, Kagura."

~~~

Berkali-kali manik biru laut itu mengintip dari balik dinding di kejauhan. Memastikan tak ada seorang pun yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah. Ia telah memantapkan niatnya untuk memanjat gerbang demi menerobos masuk. Dan rencananya akan berjalan lancar jika hanya ada Kagura disana karena ia mempertaruhkan harga dirinya sebagai wanita. Bayangkan jika saat Kagura memanjat gerbang dan ada orang yang berdiri di bawah, tentu saja orang itu akan melihat dengan jelas pantsu milik Kagura.

"Sepertinya keberuntungan masih berpihak padaku, aru."

Mengendap-endap menuju gerbang sekolah yang tingginya sekitar satu setengah meter. Menarik napas panjang dan membulatkan tekad untuk menyelamatkan diri dari teror yang disebut hukuman. Namun, tubuh Kagura seketika mematung saat sesuatu menarik bagian belakang kerah seragamnya.

"Kau ini benar-benar amatir, China."

"Suara itu? Jangan-jangan..."

"Ya ampun, kenapa aku selalu terjebak dalam situasi yang menyulitkan bersama gadis bodoh ini? Apa mungkin benang merah di jari kelingkingku terhubung dengan gadis jadi-jadian ini?"

"Woi, siapa yang kau sebut gadis mmmpphh-"

Tangan besarnya membungkam paksa mulut Kagura ketika gadis vermillion itu menyahut dengan nada tinggi karena merasa tak terima akan apa yang dikatakan oleh Sougo. Tangan mungil Kagura pun tak bosan memukuli lengan Sougo agar laki-laki itu mau melepaskannya dan membiarkannya bicara. Namun, semakin ia memukulinya maka semakin kuat pula Sougo meremas wajahnya. Seolah tak cukup dengan hal itu Sougo pun menyeret paksa Kagura menuju suatu tempat.

"Kita tidak akan ketahuan jika lewat belakang, China."

"Aku bersumpah akan mematahkan rahangmu, sialan!"

"Kau seharusnya berterimakasih karena aku mau membantumu, gadis bodoh."

Kagura memalingkan wajahnya saat manik kecokelatan itu menatapnya. Tak bisa menutupi rasa kesalnya setelah diperlakukan semena-mena oleh Sougo. Jika diminta untuk memilih pun Kagura akan lebih memilih dihukum oleh guru karena terlambat daripada harus bertemu dengan Okita Sougo. Lihatlah, baru beberapa menit bersamanya dan Kagura sudah mengalami domestic violence tingkat sedang.

"Aku tidak mau memanjat gerbang ini, aru."

"Ya sudah jika kau tidak mau."

Sahutnya santai sembari menaiki kursi tua yang menjadi pijakan untuk menaiki dinding pembatas. Semua berjalan lancar sampai akhirnya Kagura menarik kuat kaki Sougo tepat saat ia berada dalam posisi yang tak menyenangkan. Bagian paling vital miliknya pun terasa ngilu karena mengalami tekanan yang luar biasa.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA JAGOAN KECILKU, GADIS GILA?!"

"Ini balasan atas perbuatanmu sebelumnya dan karena kau berniat meninggalkanku sendirian disini, aru."

"JANGAN MENARIK KAKIKU SEPERTI ITU, BODOH!"

"Kalau begitu pinjamkan aku celana olahragamu atau semacamnya, aru. Kau pasti membawanya kan? Aku tidak mungkin memanjat dinding ini tanpa menggunakan celana, aru."

Tangannya merogoh tas sembari menahan sakit yang mendera bagian pribadinya. Melemparkan celana olahraga itu tepat di wajah Kagura. Beruntung karena hari ini ia membawanya karena jika tidak, ia yakin keadaan akan dua kali lipat lebih buruk.

"Jangan menoleh saat aku sedang memakai celana busukmu, aru. Aku akan melaporkanmu ke kepolisian atas tuduhan pelecehan jika kau mengintipku, aru."

"Bagaimana denganmu? Kau sudah melakukan pelecehan secara tak langsung padaku."

Balasnya sembari memalingkan pandangannya ke sudut lain. Tak ada jawaban dari Kagura dan tanpa alasan yang jelas laki-laki berambut cokelat terang itu mulai gugup. Ia sendiri pun merasa aneh karena tak pernah seperti ini sebelumnya.

"Dinding ini terlalu tinggi untukku, aru."

Keluhnya setelah menaiki kursi tua yang sudah seperti tangga darurat. Kristal kecokelatan itu terpaku menatap tangan mungil Kagura yang kini tengah memegang erat lengannya. Menjadikan lengannya sebagai tumpuan sembari menyusulnya memanjat dinding. Hembusan napas lega terdengar ketika gadis itu akhirnya berhasil duduk di dinding pembatas.

"Kau butuh bantuan?"

Tak lama kemudian Sougo turun dari dinding dan langsung menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangannya. Kagura menatap lugu laki-laki berambut cokelat terang itu dalam waktu yang cukup lama lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"A-aku bisa turun sendiri, aru."


"Apa-apaan ini? Kenapa aku merasa gugup, aru?"

Wajahnya tertunduk lalu berjalan cepat meninggalkan Sougo di belakang. Ia dapat sedikit bernapas lega sekarang karena bisa meloloskan diri dari hukuman. Dan itu semua karena pertemuannya dengan laki-laki berambut cokelat terang itu. Seolah takdir telah memilih laki-laki itu untuk menjadi penyelamatnya hari ini.


"Karena telah masuk ke pekarangan sekolah dengan cara yang tak sopan dan terlambat hampir satu jam setelah bel berbunyi, maka kalian harus berlari mengitari lapangan sebanyak dua puluh putaran, bocah-bocah nakal."

Ucap seorang pria yang entah sejak kapan sudah berada disana. Tatapan tajam yang seperti menusuk nyali Kagura menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk. Gadis itu refleks berjalan mundur karena takut. Sougo yang merasa tertipu pun hanya bisa mendesis kesal.

"Cih! Jadi dia sudah memata-matai kita?"

"Sepertinya usaha kita sia-sia, aru."

"Lebih baik kita menuruti perintahnya dan jangan berkomentar apapun. Orang itu adalah guru paling menyebalkan di SMA Edo, Hijikata Toshiro."

Keduanya berbisik sembari mengikuti langkah laki-laki bersurai hitam itu menuju lapangan. Kagura hanya mengangguk paham setelah merasa yakin akan penjelasan Sougo. Keduanya sontak mematung di tempat saat Hijikata berbalik menatap mereka.

"Lepas sepatu kalian dan jika ada yang berhenti sebelum dua puluh putaran maka keduanya harus mengulangi dari awal."

"Kau saja yang melakukannya, sialan!"         "Kau saja yang melakukannya, sialan!"

"Kalian mendengar perintahnya, kan?"

"Ya."

Sahut keduanya tak bersemangat. Melepas sepatu masing-masing dan meletakkan asal tas yang sejak tadi bersandar manis di bahu. Pemandangan yang sama sekali tak indah menyambut mereka berdua. Lapangan luas yang disinari cahaya matahari secara langsung. Bagi mereka ini sama buruknya seperti berdiri di tengah gurun tanpa alas kaki.

"Kenapa kalian diam saja? Cepat lari!"

"Baik!"         "Baik!"

(20 putaran kemudian...)

"Masuk ke kelas kalian masing-masing dan jangan sampai aku melihat wajah kalian lagi untuk selanjutnya karena aku akan memberikan hukuman yang lebih menyenangkan dari hari ini jika kalian terlambat lagi, bocah-bocah nakal."

Keduanya hanya mengangguk lesu. Terlalu lelah bahkan untuk sekedar berbicara. Udara terasa sangat tipis bagi Kagura dan Sougo setelah menjalani hukuman gila itu. Terutama kondisi Kagura yang tampak sangat memprihantinkan.

"Bertahanlah, China."

"Aku butuh air, aru."

"Tunggulah disini."

Kagura tertegun menatap punggung Sougo saat laki-laki berambut cokelat terang itu berlari menuju cafeteria sekolah. Kepalanya mulai berdenyut karena terlalu lama berada di bawah matahari. Tubuhnya tak sanggup berdiri setelah kedua kakinya terus-terusan dipaksa berlari. Ditambah ia belum menelan sesuap makanan bahkan meminum seteguk air pun tidak. Kagura bersyukur karena laki-laki itu ternyata tak se-menyebalkan yang ia pikirkan. Setidaknya orang itu mau membantunya saat ini.

"Minumlah."

Dengan sigap Kagura meraih botol yang ada di tangan Sougo. Laki-laki itu bahkan sudah membuka tutup botolnya demi memudahkan Kagura. Namun, baru satu tegukan hingga ia memuntahkan kembali air yang sudah mencapai kerongkongannya.

"ASIN!"

"Kenapa kau memasukkan garam ke minumanku, aru?!"

"Sesuatu yang asin akan membuat tekanan darah menjadi tinggi jadi aku menambahkan garam ke minuman itu agar kau sedikit bersemangat, China."

"Aku memang menjadi bersemangat, aru. Bersemangat untuk membunuhmu, sialan!"

Sougo berlari cepat menuju kelas sebelum gadis vermillion itu sempat mendaratkan pukulannya. Ia tidak ingin lagi mendapatkan bogem mentah yang menyakitkan seperti kemarin. Lagipula, melihat gadis itu memberikan sumpah serapah untuknya jauh lebih menyenangkan daripada melihatnya lesu dan tak bersemangat.

"Aku paham betul bahwa gadis itu pasti akan terus mengincarku sampai rasa kesalnya terluapkan. Dan hal itu pula yang memotivasiku untuk terus berbuat ulah padanya."

~~~

'Tok! Tok! Tok!'

Punggung tangannya mengetuk pelan pintu kelas guna memberitahukan kehadirannya. Pria berambut panjang yang sejak tadi mengoceh pun berhenti dan mempersilahkan Sougo untuk masuk ke dalam kelas. Tak perlu menjabarkan apa yang dialaminya karena baik guru atau pun teman sekelasnya sudah paham bahwa ia terlambat.

"Woi, siapa kau dan kenapa kau duduk di kursiku?"

Tanyanya pada laki-laki bermata biru laut yang seolah mengabaikan pertanyaannya. Semua mata pun secara otomatis tertuju pada mereka berdua. Sougo merasa kesal karena orang itu justru mengulurkan tangannya sembari menunjukkan senyuman yang terkesan sok akrab di mata Sougo.

"Kamui desu."

"Bisakah kau pindah ke tempat lain, Bakamui-san."

"Saat seseorang memperkenalkan diri padamu kau seharusnya juga memperkenalkan diri pada orang itu, kecuali kau orang yang tak paham tata krama."

"Murid baru sepertimu seharusnya sadar bahwa mengambil alih kursi orang lain adalah hal yang salah, kecuali kau orang yang tak paham tata krama."


Tatapan tajam itu beradu. Suasana tegang pun sontak mendominasi kelas tersebut. Menjadikan dua orang itu sebagai tontonan yang menarik. Sang guru yang sejak awal menyadari bahwa hal ini akan terjadi di kelasnya pun hanya menghembuskan napasnya kasar lalu menghampiri mereka untuk menengahi Kamui dan Sougo.

"Bisakah kau sedikit mengalah di hari pertamamu, Kamui-kun?"

"Tidak. Itu adalah kesalahannya karena datang terlambat dan membiarkan tempatnya diambil alih oleh orang lain."

"Aku yakin kau sudah cukup dewasa untuk mengalah, Okita-kun."

"Tidak. Orang ini seharusnya tahu bahwa kursi itu adalah milik orang lain tapi ia tetap mendudukinya dan tak merasa bersalah sama sekali."

"Kau tak bisa mengklaim fasilitas sekolah sebagai milikmu, rambut cokelat."

"Lalu, bagaimana perasaanmu jika kau berada dalam posisiku, Bakamui-san?"

"Aku akan menyelesaikan masalahnya dengan cara laki-laki."

"Oh? Sepertinya kau ingin mengujiku."


~ To Be Continued ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner