Sabtu, 27 Februari 2016

Benang Merah Chapter 2 - Teman (Gintama Fiction)

cover (c) to the owner

[ Chapter 2 - Teman ]

Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura

Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."

Note!
Cast adalah murni milik Sorachi Hideaki. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita dan tidak menyebarkannya tanpa izin penulis. Bagi yang tidak suka dengan pairing OkiKagu silahkan angkat kaki dan pergi sejauh mungkin dari dunia fiksi saya. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati.

~~~

Kristal biru laut itu menatap lurus ke arah lapangan. Pikirannya melayang tak tentu arah hingga pandangannya tampak kosong. Ia hanya termenung di pinggir lapangan sementara teman-teman sekelasnya sedang berlarian di tengah teriknya mentari. Menikmati jam pelajaran olahraga yang memang menyenangkan bagi kebanyakan murid. Namun, tidak dengannya yang hanya bisa berdiam diri.

"Kagura."

Suara penuh wibawa itu mengembalikan kesadarannya. Kepalanya menoleh mengamati sosok laki-laki berambut panjang yang kini duduk di sampingnya. Memberikan satu botol air mineral padanya. Tangannya bergerak menerima pemberian pria itu yang tak lain tak bukan adalah gurunya.

"Arigatou, Kotaro Sensei."

"Apa ada masalah, Kagura?"

"Tidak. Aku hanya iri pada mereka semua yang bisa dengan bebas berlarian dan tertawa satu sama lain di bawah terik matahari, aru."

"Baiklah, lain kali aku akan memakai lapangan indoor untuk jam pelajaran olahraga kelas ini jadi kau tidak akan merasa ditinggalkan oleh teman-teman yang lain."

Matanya berbinar mendengar ucapan pria berambut panjang itu. Seperti mengunyah cokelat manis yang membuat mood-nya seketika membaik. Aura frustasi yang sejak tadi mengerubunginya seolah terbang tertiup angin. Ya, setidaknya minggu depan ia tak akan duduk sendirian di pinggir lapangan.

"Arigatou, Kotaro Sensei."

"Pasti berat bagimu harus selalu bermusuhan dengan matahari."

"Sebenarnya aku masih bisa mengatasinya jika memakai payung tapi tentu saja itu akan menyulitkanku untuk berolahraga sambil memegang payung, aru."

Pria itu mengangguk paham. Tangannya lalu bergerak membuka buku berisi catatan kehadiran siswa SMA Edo. Mata azura itu sontak membulat saat melihat foto seseorang yang sangat dikenalnya.

"Ah, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa dia membuat masalah lagi?"

"Aku menerima murid baru di kelasku hari ini tapi ia absen di hari pertamanya. Apa kau bisa menjelaskan padaku sedikit tentang bocah ini?"

"..."

"Aku akan membuatnya datang ke sekolah besok, Kotaro Sensei."

Raut tenang Kagura kini berubah kesal hanya dengan membayangkan wajah orang itu. Wajah yang tak lain dan tak bukan adalah wajah dari kakak kandungnya, Kamui. Membolos sekolah saja sudah merupakan kesalahan dan kakaknya justru membolos di hari pertama dimana ia seharusnya masuk di sekolah baru.


Ya, pada awalnya Kagura dan Kamui adalah murid dari SMA Yato. Sekolah yang dipenuhi murid-murid berandalan yang tak diterima di sekolah lain. Ayah mereka yang merupakan kepala sekolah SMA Yato berusaha mengubah sikap para murid dengan menjadikan kedua anaknya sebagai penegak kedisiplinan disana untuk memperbaiki reputasi sekolah. Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan. Mereka semakin liar dan sering terlibat tawuran dengan sekolah lain dan semua itu karena perintah dari Kamui. Orang yang seharusnya menegakkan aturan justru melanggar aturan. Oleh karena itu, sang ayah memutuskan untuk memindahkan kedua anaknya ke sekolah lain agar keadaan tidak semakin memburuk. Memang tak ada masalah dengan Kagura tapi karena kelakuan sang kakak ia jadi ikut merasakan dampaknya. Meskipun cukup sulit untuk menemukan sekolah yang mau menerima anaknya tapi pada akhirnya ia berhasil.


"Awas saja jika kau berulah lagi, Kamui!"

~~~

"BAKA ANIKI!"


"BUGH!"

Kepalan tangan itu mendarat tepat di pipi laki-laki yang kini tengah duduk santai sembari menonton televisi. Makanan yang sedang ia kunyah pun berserakan di lantai akibat tinju dari sang adik. Namun, wajahnya hanya menampilkan senyuman lugu seolah pukulan gadis itu tidak memberikan dampak apapun.

"Beginikah caramu memberi salam pada kakakmu, Kagura?"

"Ya. Aku akan memberi salam seperti ini padamu setiap hari, aru."

Kamui menggeser tangan mungil itu dari pipinya. Menarik lengan Kagura agar sang adik duduk tepat di sampingnya. Tangannya lalu mengusap lembut puncak kepala sang adik. Kekesalan yang menumpuk di benak Kagura seketika hilang saat ia merasakan ada yang aneh dari Kamui. Tangan yang mengusap kepalanya itu terasa kaku seolah menahan sakit.

"Kamui, kenapa dengan tanganmu?"

"Eh? Ketahuan ya?"

"Apa kau berkelahi lagi, Kamui?"

"Ya begitulah, tadi pagi aku diserang oleh gerombolan tikus saat akan pergi ke sekolah baru."

"Kau tidak melawan mereka?"

Kamui hanya menjawabnya dengan senyuman seperti biasa yang selalu terpatri di wajahnya. Kagura menarik lembut kedua tangan kakaknya. Memijat pelan tangan yang terasa kasar dan dua kali lebih besar dari tangannya itu. Ia merasa sangat bersalah karena telah seenaknya menghajar Kamui.

"Adikku memang sangat memahamiku."

Kagura terdiam mendengar ucapan sang kakak yang terdengar seperti pujian baginya. Ya, terkadang kakaknya itu memang menyebalkan dan melakukan segala sesuatu seenaknya tapi itu tetap tak mengubah fakta bahwa Kamui adalah kakaknya. Kakak yang harus dihormati dan disayangi tak peduli bagaimana orang-orang menilainya.

Ya, seperti saat mereka masih berada di SMA Yato dan Kamui menjadi terkenal di kalangan remaja berandalan. Alasannya ikut dalam perkelahian tak lain dan tak bukan adalah untuk melindungi murid-murid SMA Yato yang selama ini selalu menjadi sasaran kelompok pengganggu sekolah lain. Ia hanya ingin membantu sang ayah melindungi apa yang seharusnya dilindungi. Namun, tak ada yang memahaminya kecuali sang adik, Kagura.

"Besok aku akan membangunkanmu agar tak terlambat, aru."

"Eh? Bukankah kau lebih buruk dariku soal bangun pagi?"

"Aku akan berusaha untuk bangun pagi agar bisa berangkat bersamamu, aru."

"Wah, sepertinya kau sangat mengkhawatirkan kakakmu ini."

"Jangan salah paham ya. Aku pergi bersamamu karena ingin memastikan kau sampai di sekolah dan mendapatkan hukuman karena membolos di hari pertama bukan karena khawatir kau akan diserang lagi, aru."

Kamui mendengus lesu mendengar jawaban dari sisi tsundere adiknya. Namun, ia juga merasa senang karena jika Kagura bersikap seperti itu maka berarti Kagura benar-benar mengkhawatirkannya. Kagura hanya tidak mengerti bagaimana menunjukkan perasaannya dengan jujur.

"Eh? Kau ingin pergi kemana?"

Tanyanya saat Kagura berlalu meninggalkannya begitu saja. Beberapa kali Kagura melihat ke arah jam dinding seperti ingin memastikan sesuatu. Raut wajahnya pun tampak cemas seolah ia melupakan hal penting dan baru mengingatnya.

"Aku ada janji dengan temanku hari ini, aru."

"Seberapa penting sampai kau tidak mengganti seragam sekolahmu?"

"Aku sedang terburu-buru, aru."

Kamui menatap punggung kecil adiknya hingga sosok itu menghilang dibalik pintu. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa orang yang ingin ditemui Kagura. Matanya lalu tertuju pada selembar kertas yang berisi sebuah alamat dan nama seseorang.

"Hongo Hisashi...?"

~~~

"Maaf aku terlambat menjengukmu, aru."

Lirih gadis bermata azura dengan kepala tertunduk. Tak berani menatap laki-laki berwajah pucat yang duduk lemas di ranjang rumah sakit itu.

"Aku senang bisa melihatmu lagi, Kagura-chan."

Pipinya merona hanya dengan mendengar kalimat sederhana dari lawan bicaranya. Suasana canggung yang tak terhindarkan membuat keduanya mengatupkan mulut masing-masing. Cukup lama hingga akhirnya salah satu dari mereka bersuara memecah keheningan.

"Kagura-chan..."

"Ya...?"

"Aku ingin berjalan diluar bersamamu, Kagura-chan."

Kagura mendongak bersamaan dengan senyuman manis yang terukir di wajah lawan bicaranya. Wajah itu memang semakin pucat dibandingkan dengan seminggu yang lalu. Namun, senyumannya tetap cerah seperti dulu membuat Kagura tak memiliki alasan untuk menolak keinginan orang itu.

"Baiklah, tapi jangan sampai kau pingsan diluar, aru."

Sahut Kagura diiringi tawa kecil dari keduanya. Perasaan hangat menyebar saat melihat senyum lugu nan tulus tersebut. Sudah lama sejak terakhir kali Kagura melihat Hongo Hisashi tertawa dan tersenyum lepas. Melepas semua kejenuhan dengan teman pertamanya.


Ya, Hongo Hisashi adalah teman pertama yang dikenalnya ketika ia menginjakkan kaki di Edo. Mereka berteman sejak di taman kanak-kanak. Keduanya selalu bersama hingga akhirnya kondisi kesehatan Hongo memburuk. Perawatan berkala di rumah sakit membuatnya tak bisa hadir di sekolah setiap saat. Jadi, Kagura memutuskan untuk rutin menjenguknya di rumah sakit agar Hongo tak kesepian juga demi menjaga pertemanan mereka.

"Bagaimana sekolah barumu, Kagura-chan?"

"Yah, memang jauh lebih baik dibandingkan SMA Yato tapi karena bertemu orang bodoh di hari pertama sekolah aku jadi merasa sedikit kesal, aru."

"..."

"Ada orang bodoh yang melemparkan bola basket ke wajah tampanku karena itulah aku mendapatkan lebam ini, Aneue."

"Kau yakin baik-baik saja, Sou-chan?"

"Ya, meski lebam seperti ini aku tetap terlihat keren jadi jangan khawatir, Aneue."

Kristal biru laut itu sontak membulat mendengar suara familiar dari arah belakang. Napasnya tercekat merasakan bahwa apa yang dikatakan orang itu adalah kalimat yang ditujukan untuknya. Perlahan tapi pasti ia menoleh ke belakang untuk memastikan dan apa yang ia lihat sukses membuat kepalanya seketika panas.

"Si bodoh itu lagi?!"

"Kenapa harus bertemu dengannya di tempat seperti ini?"


Rutuknya dalam hati saat pandangannya bertemu dengan manik kecokelatan milik Okita Sougo. Secepat kilat Kagura mengalihkan pandangannya dan kini tertuju pada wanita berambut cokelat terang yang duduk di kursi roda sementara Sougo memusatkan perhatiannya pada Hongo Hisashi yang berdiri di samping Kagura.

"Seragamnya sama denganmu. Apa itu temanmu, Sou-chan?"

"Tidak!"     "Iya!"

Keduanya mengucapkan sesuatu yang berbeda secara bersamaan. Menimbulkan kebingungan dan menciptakan kesan mencurigakan.

"Eh? Apa kau berpura-pura tidak mengenalku, Kagura-chan?"

"Brengsek! Apa tujuan dia sebenarnya? Kenapa dia bersikap seolah-olah aku adalah teman akrabnya? Apa dia ingin mempermainkanku lagi?"

Berbagai macam pertanyaan memenuhi kepalanya. Kagura berusaha mengorek sesuatu dengan membaca mimik wajah Okita Sougo tapi tak bisa. Wajah itu hanyalah wajah tak berekspresi yang akan memberikan efek samping berupa rasa kesal tak terbendung jika terlalu lama melihatnya, seperti yang Kagura alami sekarang.

Namun, Kagura akhirnya mengerti saat manik kecokelatan itu menatap lembut wanita yang tengah duduk di kursi roda. Tanpa perlu menanyakannya pun Kagura sudah mengetahui bahwa wanita itu adalah kakaknya karena kemiripan yang mereka miliki.

"Apa ini demi kakaknya?"

"Ah, kami memang berteman tapi terkadang ia membuatku kesal jadi aku sering mengabaikannya, aru."

"Adikku memang sering membuat orang lain kesal jadi harap memakluminya ya, Kagura-chan."

"T-tentu saja, Nee-san."

"Gawat! Apa yang aku bicarakan, aru?!"

"Ini juga pertama kalinya Sou-chan memiliki girl friend."

"Woi! Kenapa ia menggunakan istilah asing di bagian yang tidak tepat."

Hongo yang berada tepat di samping Kagura hanya menutup rapat bibirnya. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa ngilu saat melihat laki-laki berambut cokelat terang itu. Namun, di sisi lain ia merasa senang mengetahui Kagura memiliki banyak teman. Alasan itu pula yang menyebabkan lengkungan manis itu muncul di wajahnya.

"Jadi kau temannya Kagura-chan di sekolah, ya?"

"Ya, kami sangat dekat seperti telur dan cangkangnya."

"..."

Hongo melangkah pelan menuju laki-laki berambut cokelat terang itu. Mengulurkan tangan sembari menunjukkan senyuman lugunya. Sougo menyambut uluran tangan itu sambil sesekali melihat Kagura yang kini tertegun menatap Hongo.

"Hongo Hisashi, senang berkenalan denganmu."

"Okita Sougo. Senang berkenalan denganmu, Hisashi-kun."

Ia menyadarinya. Kagura menyadarinya. Ada sesuatu yang berusaha ditutupi oleh Hongo Hisashi. Senyuman yang ada di wajah Hongo saat ini hanyalah sesuatu yang dipaksakan. Lalu, apa maksud Okita Sougo menciptakan situasi seperti ini?

"Sesuatu yang hanya dirasakan oleh satu pihak tak akan berakhir dengan baik, China."

~~~
Sudah hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu dengan duduk diam di sebuah halte. Tak mengeluarkan sepatah kata pun layaknya patung. Yang berambut cokelat sibuk menyeruput chuubert sementara yang berambut vermillion berpura-pura tak peduli dengan memasang earphone.

"Woi, kau tidak pulang?"

"Apa maksudmu sebenarnya, aru?"

"Huh? Apa yang kau bicarakan?"

"Kenapa kau berkata seperti itu di depan kakakmu dan temanku, aru?"

"Jadi kau bisa mendengarku, ya?"

"Jawab saja pertanyaanku, aru."

Laki-laki itu hanya menghembuskan napasnya kasar ketika pertanyaan demi pertanyaan terus menghujaninya. Gadis vermillion yang duduk di sampingnya pun tampak tak sabar menanti jawabannya. Mata azura itu seolah memaksanya untuk bicara.

"Yah, aku hanya ingin terlihat sebagai seseorang yang memiliki banyak teman di mata kakakku jadi aku menciptakan situasi tadi dengan memanfaatkanmu. Faktanya aku tidak benar-benar memiliki seseorang yang pantas untuk disebut teman. Apa itu merepotkanmu, China?"

"Ya. Itu merepotkanku, aru."

Jawabnya dengan nada tak senang dan wajah yang muram. Jika bukan karena alasan manusiawi maka Kagura tak akan sudi berbohong hanya untuk membantu laki-laki itu menciptakan kesan baik di mata kakaknya.

Well, seorang kakak tidak akan senang jika mengetahui adiknya hanyalah seorang penyendiri yang tak memiliki teman.

"Apa tadi kau melihat wajah temanmu itu, China?"

"..."

"Temanmu terlihat kecewa saat mendengar fakta palsu itu."

"Tentu saja ia kecewa karena mengira aku benar-benar berteman dengan orang menyebalkan sepertimu, aru."

"Kau ini naif sekali, Nona."

"..."

Kagura memang terlalu lugu dan naif untuk mengerti apa maksud laki-laki itu. Itulah mengapa ia rela membuang 30 menit waktunya hanya untuk menunggu laki-laki itu bicara dan menjelaskan semuanya.

"Dengarkan ini baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya."

"..."

"Tidak ada yang namanya 'teman' antara pria dan wanita."

"..."

"Itu karena pria memiliki sensor otomatis yang akan bereaksi saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan wanita."

Laki-laki berambut cokelat terang itu menunjuk dada kirinya. Bagian dimana jantungnya terletak. Merasakan debaran yang semakin cepat ketika manik azura itu bertemu dengan manik kecokelatannya.

"..."

"Ya, sensor otomatis yang akan berdebar saat bertemu dengan orang yang menarik."


~ To Be Continued ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner