cover (c) to the owner
[ Chapter 1 - Gadis Payung ]
Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura
Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."
Note!!
Cast adalah murni milik Sorachi sensei. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak menyebarkan karya saya tanpa izin dan tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita. Bagi yang tidak suka dengan pair OkiKagu silahkan abaikan fic ini dan cari cerita yang lain. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati. Bashing? Talk to my hand ^^
~~~
Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura
Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."
Note!!
Cast adalah murni milik Sorachi sensei. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak menyebarkan karya saya tanpa izin dan tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita. Bagi yang tidak suka dengan pair OkiKagu silahkan abaikan fic ini dan cari cerita yang lain. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati. Bashing? Talk to my hand ^^
~~~
Sudah hampir empat jam bocah laki-laki berambut cokelat terang itu duduk menyendiri. Kristal merah kecokelatan miliknya menatap iri anak-anak kecil yang tengah bermain dan saling tertawa satu sama lain. Ingin rasanya ia menghampiri mereka. Namun, anak-anak itu selalu membubarkan diri setiap kali ia ikut bergabung. Ya, karena tak ada yang ingin berteman dan bermain dengannya. Ia dianggap seperti lalat yang mengganggu.
"Hey, langitnya semakin mendung!"
"Ayo pulang!"
"Besok kita lanjutkan permainannya."
Mimiknya berubah kecewa saat anak-anak itu memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ia mendongak menatap langit yang kini dipenuhi awan kelabu. Dalam hati ia merutuki langit yang seolah meledeknya. Bertambah masam pula wajahnya saat ia menyadari tak ada siapapun di taman tersebut. Semuanya telah pergi untuk berteduh padahal hujan belum turun. Membuatnya merasa ditinggalkan oleh seisi dunia.
"Selalu sendiri..."
Hujan turun dimulai dari rintik-rintik kecil hingga akhirnya deras. Ia masih duduk disana tanpa menghiraukan tubuhnya yang mulai kuyup. Punggungnya bergerak naik turun diantara derasnya hujan. Ya, ia menangisi kesendiriannya dan bagaimana orang-orang di sekitarnya sangat tidak mempedulikannya.
"Laki-laki tidak boleh menangis hanya karena hujan, aru."
"Eh?"
Tangisannya sontak berhenti saat mendapati sosok gadis kecil berdiri di depannya. Wajah gadis itu tertutupi payung berwarna ungu. Membuat hati kecilnya bertanya-tanya akan sosok tersebut. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk memberikan sebuah payung bermotif bunga sakura. Cukup lama bocah laki-laki itu tertegun hingga akhirnya ia menerima payung pemberian gadis kecil itu.
"A-arigatou..."
Bisiknya sembari membuka payung pemberian gadis itu. Perlahan tapi pasti garis bibirnya melengkung manis saat kehangatan itu mulai merambati tubuhnya. Seperti bara api pada sebatang lilin yang mulai mencairkan dinding es yang selama ini membelenggu hatinya dalam kesendirian. Ya, setidaknya ada satu orang yang mempedulikan kehadirannya meskipun hanya orang asing.
"Tunggu!"
Gadis itu telah berlari meninggalkannya tepat saat ia akan menanyakan hal yang penting. Matanya terus mengikuti punggung gadis kecil itu hingga sosok mungil itu akhirnya hilang dari jangkauan. Satu-satunya yang ia ingat dari gadis itu hanyalah rambut vermillion dan logat bicaranya yang aneh.
"Arigatou, gadis payung."
"Hey, langitnya semakin mendung!"
"Ayo pulang!"
"Besok kita lanjutkan permainannya."
Mimiknya berubah kecewa saat anak-anak itu memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ia mendongak menatap langit yang kini dipenuhi awan kelabu. Dalam hati ia merutuki langit yang seolah meledeknya. Bertambah masam pula wajahnya saat ia menyadari tak ada siapapun di taman tersebut. Semuanya telah pergi untuk berteduh padahal hujan belum turun. Membuatnya merasa ditinggalkan oleh seisi dunia.
"Selalu sendiri..."
Hujan turun dimulai dari rintik-rintik kecil hingga akhirnya deras. Ia masih duduk disana tanpa menghiraukan tubuhnya yang mulai kuyup. Punggungnya bergerak naik turun diantara derasnya hujan. Ya, ia menangisi kesendiriannya dan bagaimana orang-orang di sekitarnya sangat tidak mempedulikannya.
"Laki-laki tidak boleh menangis hanya karena hujan, aru."
"Eh?"
Tangisannya sontak berhenti saat mendapati sosok gadis kecil berdiri di depannya. Wajah gadis itu tertutupi payung berwarna ungu. Membuat hati kecilnya bertanya-tanya akan sosok tersebut. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk memberikan sebuah payung bermotif bunga sakura. Cukup lama bocah laki-laki itu tertegun hingga akhirnya ia menerima payung pemberian gadis kecil itu.
"A-arigatou..."
Bisiknya sembari membuka payung pemberian gadis itu. Perlahan tapi pasti garis bibirnya melengkung manis saat kehangatan itu mulai merambati tubuhnya. Seperti bara api pada sebatang lilin yang mulai mencairkan dinding es yang selama ini membelenggu hatinya dalam kesendirian. Ya, setidaknya ada satu orang yang mempedulikan kehadirannya meskipun hanya orang asing.
"Tunggu!"
Gadis itu telah berlari meninggalkannya tepat saat ia akan menanyakan hal yang penting. Matanya terus mengikuti punggung gadis kecil itu hingga sosok mungil itu akhirnya hilang dari jangkauan. Satu-satunya yang ia ingat dari gadis itu hanyalah rambut vermillion dan logat bicaranya yang aneh.
"Arigatou, gadis payung."
~~~
(8 Tahun Kemudian)
// Edo High School //
Konon, di jari kelingking setiap orang ada benang merah yang tak kasat mata, yang menghubungkan seseorang dengan jodohnya. Benang tersebut bisa saja sangat panjang dan dua orang yang benang merahnya saling terhubung bisa saja di tempat yang sangat berjauhan. Benang tersebut pun bisa saja kusut, tapi tak akan ada yang mampu memutuskan benang itu. Singkatnya, kalian dan jodoh kalian terhubung dengan benang merah tak terlihat di jari kelingkingnya. Menurut legenda, dewa mengaitkan benang merah di setiap jari para kekasih sejati agar mereka suatu saat nanti dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Itulah mengapa terkadang ada saja orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, atau selalu bertengkar tapi berakhir sebagai sepasang kekasih. Bisa jadi itu karena mereka saling terhubung oleh 'Benang Merah'.
"Cerita bodoh macam apa ini, Shinpachi?"
"Itu kisah mengenai 'Takdir Benang Merah' yang sangat terkenal di Jepang, Kagura-chan."
Mata biru lautnya fokus membaca paragraf demi paragraf. Tangan kirinya memegang buku sementara tangan kanannya membalik halaman selanjutnya. Otaknya pun sibuk meresapi cerita yang menurutnya aneh tapi juga menarik. Pupilnya membesar setiap kali menemukan fakta baru mengenai kisah itu. Menghiraukan suasana berisik di sekitar lapangan sekolah.
"Sepertinya kau menyukai cerita itu, Kagura-chan."
"Bukan berarti aku menyukainya. Aku hanya tidak suka melakukan sesuatu yang setengah-setengah dan karena buku ini terlanjur dibaca maka aku harus menyelesaikannya, aru."
Shinpachi hanya mendengus lesu mendengar alasan Kagura. Tentu saja jawaban seperti itu bukan hal yang asing baginya. Gadis itu selalu membuat berbagai macam alasan untuk menutupi ketertarikannya terhadap sesuatu.
"Kagura-chan, bagaimana pendapatmu tentang sekolah ini?"
"Lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah lamaku."
Sahutnya lalu menutup buku yang sejak tadi dibacanya. Mata biru laut itu lalu menatap lurus pada gerombolan murid perempuan yang sibuk menyoraki murid laki-laki yang tengah bermain basket di lapangan.
"Okita-sama! Kau tampak keren seperti biasanya!"
"Cih! Orang-orang seperti itu benar-benar mengganggu, aru."
Gerutu gadis itu dengan raut wajah kesal saat mendengar teriakan seorang gadis di seberang. Tak ada alasan khusus karena ia memang merasa muak melihat seseorang yang terlalu memuja sesuatu. Seperti halnya Shinpachi yang sangat mengidolakan Terakado Tsu. Berkali-kali Kagura mengolok-olok pria berkacamata itu karena sifat otakunya terhadap Otsu.
"Okita-san memang populer di kalangan wanita jadi itu hal yang wajar, Kagura-chan."
"Aku tidak peduli soal itu tapi seorang wanita harusnya bersikap anggun dan misterius, aru."
"Hoy, katakan itu setelah kau memperbaiki sikapmu."
Protes pria berkacamata itu dengan gaya tsukkomi-nya. Kagura hanya mengerucutkan bibir dan berniat meninggalkan Shinpachi. Namun, sesuatu yang berat dan keras menghantam kuat kepalanya tepat saat ia memunggungi Shinpachi. Kagura sontak terduduk di tanah sembari memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Visualnya mengabur dan dunia di sekitarnya seolah terombang-ambing. Sesuatu yang tampak olehnya adalah sebuah bola basket menggelinding di sampingnya.
"Megane-kun, tolong lemparkan bola itu kemari."
"B-baik."
Shinpachi beranjak dari duduknya berniat mengambil bola basket yang menggelinding. Ia kaget saat Kagura dengan segera merampas bola basket itu lebih dulu. Seolah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya, Shinpachi pun berusaha menahan Kagura tapi tenaganya memang terlalu kuat untuk ukuran seorang gadis hingga ia akhirnya kalah.
"KEMANA KAU MENGARAHKAN BOLA, SIALAN ?!!!"
Sekuat tenaga Kagura melempar bola basket itu pada laki-laki berambut cokelat terang yang berdiri beberapa meter darinya. Emosinya sudah pecah di ubun-ubun karena terlalu kesal. Sementara semua yang melihat kejadian itu hanya menganga tak percaya saat laki-laki yang menjadi sasaran Kagura kini ambruk dengan hidung mengeluarkan darah. Bayangkan bagaimana rasanya saat bola basket seberat itu menghantam wajahmu? Tentu saja kau akan pingsan di tempat seperti yang dialami oleh orang itu.
"APA YANG KAU LAKUKAN, KAGURA-CHAN ?!"
Shinpachi berteriak frustasi menyadari situasi di sekitarnya semakin kacau. Ia merutuki kecerobohan Kagura yang bertindak mengikuti amarahnya. Keringat dingin mengucur di kening Shinpachi saat puluhan pasang mata itu menatap tajam ke arah mereka. Sementara dari sudut lain seorang laki-laki berwajah kikuk berlari dengan napas terengah.
"Ano... ini pertama kalinya aku bermain basket karena biasanya aku selalu bermain badminton dan karena terlalu gugup aku justru melemparkannya secara asal. Aku benar-benar minta maaf atas insiden ini."
"...."
"Shinpachi... sepertinya aku salah sasaran, aru."
"Hoy, sudah terlambat untuk menyadarinya!!!"
"Itu kisah mengenai 'Takdir Benang Merah' yang sangat terkenal di Jepang, Kagura-chan."
Mata biru lautnya fokus membaca paragraf demi paragraf. Tangan kirinya memegang buku sementara tangan kanannya membalik halaman selanjutnya. Otaknya pun sibuk meresapi cerita yang menurutnya aneh tapi juga menarik. Pupilnya membesar setiap kali menemukan fakta baru mengenai kisah itu. Menghiraukan suasana berisik di sekitar lapangan sekolah.
"Sepertinya kau menyukai cerita itu, Kagura-chan."
"Bukan berarti aku menyukainya. Aku hanya tidak suka melakukan sesuatu yang setengah-setengah dan karena buku ini terlanjur dibaca maka aku harus menyelesaikannya, aru."
Shinpachi hanya mendengus lesu mendengar alasan Kagura. Tentu saja jawaban seperti itu bukan hal yang asing baginya. Gadis itu selalu membuat berbagai macam alasan untuk menutupi ketertarikannya terhadap sesuatu.
"Kagura-chan, bagaimana pendapatmu tentang sekolah ini?"
"Lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah lamaku."
Sahutnya lalu menutup buku yang sejak tadi dibacanya. Mata biru laut itu lalu menatap lurus pada gerombolan murid perempuan yang sibuk menyoraki murid laki-laki yang tengah bermain basket di lapangan.
"Okita-sama! Kau tampak keren seperti biasanya!"
"Cih! Orang-orang seperti itu benar-benar mengganggu, aru."
Gerutu gadis itu dengan raut wajah kesal saat mendengar teriakan seorang gadis di seberang. Tak ada alasan khusus karena ia memang merasa muak melihat seseorang yang terlalu memuja sesuatu. Seperti halnya Shinpachi yang sangat mengidolakan Terakado Tsu. Berkali-kali Kagura mengolok-olok pria berkacamata itu karena sifat otakunya terhadap Otsu.
"Okita-san memang populer di kalangan wanita jadi itu hal yang wajar, Kagura-chan."
"Aku tidak peduli soal itu tapi seorang wanita harusnya bersikap anggun dan misterius, aru."
"Hoy, katakan itu setelah kau memperbaiki sikapmu."
Protes pria berkacamata itu dengan gaya tsukkomi-nya. Kagura hanya mengerucutkan bibir dan berniat meninggalkan Shinpachi. Namun, sesuatu yang berat dan keras menghantam kuat kepalanya tepat saat ia memunggungi Shinpachi. Kagura sontak terduduk di tanah sembari memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Visualnya mengabur dan dunia di sekitarnya seolah terombang-ambing. Sesuatu yang tampak olehnya adalah sebuah bola basket menggelinding di sampingnya.
"Megane-kun, tolong lemparkan bola itu kemari."
"B-baik."
Shinpachi beranjak dari duduknya berniat mengambil bola basket yang menggelinding. Ia kaget saat Kagura dengan segera merampas bola basket itu lebih dulu. Seolah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya, Shinpachi pun berusaha menahan Kagura tapi tenaganya memang terlalu kuat untuk ukuran seorang gadis hingga ia akhirnya kalah.
"KEMANA KAU MENGARAHKAN BOLA, SIALAN ?!!!"
Sekuat tenaga Kagura melempar bola basket itu pada laki-laki berambut cokelat terang yang berdiri beberapa meter darinya. Emosinya sudah pecah di ubun-ubun karena terlalu kesal. Sementara semua yang melihat kejadian itu hanya menganga tak percaya saat laki-laki yang menjadi sasaran Kagura kini ambruk dengan hidung mengeluarkan darah. Bayangkan bagaimana rasanya saat bola basket seberat itu menghantam wajahmu? Tentu saja kau akan pingsan di tempat seperti yang dialami oleh orang itu.
"APA YANG KAU LAKUKAN, KAGURA-CHAN ?!"
Shinpachi berteriak frustasi menyadari situasi di sekitarnya semakin kacau. Ia merutuki kecerobohan Kagura yang bertindak mengikuti amarahnya. Keringat dingin mengucur di kening Shinpachi saat puluhan pasang mata itu menatap tajam ke arah mereka. Sementara dari sudut lain seorang laki-laki berwajah kikuk berlari dengan napas terengah.
"Ano... ini pertama kalinya aku bermain basket karena biasanya aku selalu bermain badminton dan karena terlalu gugup aku justru melemparkannya secara asal. Aku benar-benar minta maaf atas insiden ini."
"...."
"Shinpachi... sepertinya aku salah sasaran, aru."
"Hoy, sudah terlambat untuk menyadarinya!!!"
~~~
"Okita-san...?"
Perlahan tapi pasti Okita membuka kelopak matanya. Meminimalisir silau cahaya yang ditangkap irisnya agar tak terasa perih. Kepalanya masih terasa berdenyut karena efek dari benturan keras tadi. Pupilnya membesar saat mendapati sosok asing yang ada di ruangan UKS tempat ia dirawat.
"Zaki, bagaimana aku bisa berada disini?"
"Yah, tadi ada insiden kecil yang melibatkanmu."
"Woy, dilihat dari manapun itu bukan insiden kecil! Dan apa ia benar-benar tak mengingat kejadian sebelumnya? Mungkinkah Okita-san mengalami partial amnesia? Tidak! Tidak! Bagaimana pun aku tidak boleh panik karena Kagura-chan yang bersalah dalam hal ini."
Shinpachi bergumam dalam hati dengan jantung yang terasa akan copot. Diantara ratusan siswa di SMA Edo, Okita Sougo adalah salah satu dari beberapa orang yang paling menyeramkan baginya. Namun, sekarang ia harus ikut-ikutan berhadapan dengan Okita Sougo karena kebodohan yang telah diciptakan Kagura.
"Shinpachi, ayo kembali ke kelas, aru."
"Tapi..."
"Ia hanya pingsan selama 5 menit setelah merasakan hantaman sekuat itu jadi menurutku kita tak perlu mengkhawatirkannya, aru."
"BAKA!!! Apa lebam di wajahnya tak cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja?! Dan kenapa kau membiacarakannya padahal ia tak mengingat apapun."
Shinpachi menelan ludahnya kasar saat Okita tak menunjukkan reaksi apapun setelah mendengar ucapan Kagura. Okita justru menundukkan kepalanya dalam-dalam dan beberapa kali memijat pelan keningnya. Shinpachi menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Okita sedang mengumpulkan semua energi negatif dalam tubuhnya untuk diluapkan padanya dan Kagura.
"Apa kau tidak merasa bersalah setelah melakukan ini padaku, gadis berlogat aneh?"
"Hah? Memangnya ada yang salah dengan cara bicaraku, aru?"
"Tentu saja! Itu membuat telingaku merasa tak nyaman."
Keduanya mulai sibuk beradu argumen sementara Yamazaki dan Shinpachi hanya menatap bingung kedua orang itu, terutama Okita yang entah kenapa terasa berbeda. Biasanya ia akan menghukum dan mempermalukan siapapun yang berani mencari masalah dengannya baik disengaja maupun tak disengaja. Apalagi ia adalah senior di SMA Edo jadi memonopoli lingkungan sekolah adalah hal yang mudah baginya.
Namun, hari ini ia justru tampak seperti bocah yang tengah memperebutkan sebatang lollipop dengan bocah lainnya. Tak ada kekerasan atau ucapan kasar keluar dari mulutnya. Hanya sebuah kalimat-kalimat yang bersifat memprovokasi gadis di hadapannya. Dan entah kenapa mata kecokelatan itu seolah menyimpan sesuatu. Shinpachi atau Yamazaki pun bisa merasakan aura lain dari seorang Okita Sougo.
"Jangan salah paham ya, aku menunggu disini karena merasa bertanggung jawab bukan berarti aku mengkhawatirkanmu, aru."
"Kalau begitu minta maaflah padaku, China."
Wajahya tampak kecut saat Shinpachi memberi tatapan tegas yang mengisyaratkan Kagura untuk mematuhi keinginan Okita. Sementara laki-laki berambut cokelat terang itu hanya memasang ekspresi yang membuat Kagura merasa sangat geram. Kagura hanya bergumam dalam hati memberikan ratusan bahkan ribuan sumpah serapah untuk laki-laki itu.
"Maaf..."
Bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. Wajahnya menunduk dalam setelah mengatakan sesuatu yang menurutnya sangat menjatuhkan harga dirinya. Tangannya mengepal menahan semua sisi emosionalnya. Ia sangat ingin pergi dan menjauh secepatnya.
"Hah? Apa yang kau katakan? Aku tak bisa mendengarnya."
Okita menyahut dengan nada santai. Wajahnya menyeringai saat Kagura memberikan tatapan mematikan padanya. Takut? Tentu saja tidak. Sejak awal memang inilah tujuan seorang Okita Sougo. Sejak ia terbangun dan melihat sosok gadis vermillion itu. Ia ingin membuat Kagura berada dalam situasi dimana ia harus meminta maaf padahal emosinya sedang sangat mendidih.
"Kagura-chan, minta maaflah dengan cara yang benar."
"Hah? Aku sudah melakukannya dengan benar, aru."
"Kau harus mengatakannya dengan volume normal, Kagura-chan."
Kagura melipat kedua lengannya di dada. Memalingkan wajahnya dari Shinpachi yang seolah ikut memojokkannya. Berusaha mendinginkan kepalanya. Bibirnya mengerucut dan keningnya berkerut menahan rasa kesal yang hampir mencapai batas.
"Sumimasen deshita... cih!"
Dengan segera Kagura keluar dari ruang UKS setelah mengucapkan dua-kata-yang-menjatuhkan-harga-dirinya dengan sangat terpaksa. Shinpachi membungkukkan tubuhnya pada Yamazaki dan Okita sebelum akhirnya menyusul Kagura.
Ruangan yang tadinya ramai kini menjadi hening. Yamazaki hanya terdiam di tempat saat Okita tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari pintu UKS. Yah, sejak tadi ia memang merasa aneh tapi ia berusaha untuk memendam semua pertanyaannya dalam-dalam. Toh, pada akhirnya laki-laki berambut cokelat terang itu tak akan menjawab sesuatu sesuai dengan kata hatinya.
"..."
"Zaki, ayo kembali ke kelas."
"..."
"Kali ini aku memaafkanmu. Memaafkanmu karena telah pergi begitu saja sebelum aku sempat menanyakan namamu saat itu... gadis payung."
Perlahan tapi pasti Okita membuka kelopak matanya. Meminimalisir silau cahaya yang ditangkap irisnya agar tak terasa perih. Kepalanya masih terasa berdenyut karena efek dari benturan keras tadi. Pupilnya membesar saat mendapati sosok asing yang ada di ruangan UKS tempat ia dirawat.
"Zaki, bagaimana aku bisa berada disini?"
"Yah, tadi ada insiden kecil yang melibatkanmu."
"Woy, dilihat dari manapun itu bukan insiden kecil! Dan apa ia benar-benar tak mengingat kejadian sebelumnya? Mungkinkah Okita-san mengalami partial amnesia? Tidak! Tidak! Bagaimana pun aku tidak boleh panik karena Kagura-chan yang bersalah dalam hal ini."
Shinpachi bergumam dalam hati dengan jantung yang terasa akan copot. Diantara ratusan siswa di SMA Edo, Okita Sougo adalah salah satu dari beberapa orang yang paling menyeramkan baginya. Namun, sekarang ia harus ikut-ikutan berhadapan dengan Okita Sougo karena kebodohan yang telah diciptakan Kagura.
"Shinpachi, ayo kembali ke kelas, aru."
"Tapi..."
"Ia hanya pingsan selama 5 menit setelah merasakan hantaman sekuat itu jadi menurutku kita tak perlu mengkhawatirkannya, aru."
"BAKA!!! Apa lebam di wajahnya tak cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja?! Dan kenapa kau membiacarakannya padahal ia tak mengingat apapun."
Shinpachi menelan ludahnya kasar saat Okita tak menunjukkan reaksi apapun setelah mendengar ucapan Kagura. Okita justru menundukkan kepalanya dalam-dalam dan beberapa kali memijat pelan keningnya. Shinpachi menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Okita sedang mengumpulkan semua energi negatif dalam tubuhnya untuk diluapkan padanya dan Kagura.
"Apa kau tidak merasa bersalah setelah melakukan ini padaku, gadis berlogat aneh?"
"Hah? Memangnya ada yang salah dengan cara bicaraku, aru?"
"Tentu saja! Itu membuat telingaku merasa tak nyaman."
Keduanya mulai sibuk beradu argumen sementara Yamazaki dan Shinpachi hanya menatap bingung kedua orang itu, terutama Okita yang entah kenapa terasa berbeda. Biasanya ia akan menghukum dan mempermalukan siapapun yang berani mencari masalah dengannya baik disengaja maupun tak disengaja. Apalagi ia adalah senior di SMA Edo jadi memonopoli lingkungan sekolah adalah hal yang mudah baginya.
Namun, hari ini ia justru tampak seperti bocah yang tengah memperebutkan sebatang lollipop dengan bocah lainnya. Tak ada kekerasan atau ucapan kasar keluar dari mulutnya. Hanya sebuah kalimat-kalimat yang bersifat memprovokasi gadis di hadapannya. Dan entah kenapa mata kecokelatan itu seolah menyimpan sesuatu. Shinpachi atau Yamazaki pun bisa merasakan aura lain dari seorang Okita Sougo.
"Jangan salah paham ya, aku menunggu disini karena merasa bertanggung jawab bukan berarti aku mengkhawatirkanmu, aru."
"Kalau begitu minta maaflah padaku, China."
Wajahya tampak kecut saat Shinpachi memberi tatapan tegas yang mengisyaratkan Kagura untuk mematuhi keinginan Okita. Sementara laki-laki berambut cokelat terang itu hanya memasang ekspresi yang membuat Kagura merasa sangat geram. Kagura hanya bergumam dalam hati memberikan ratusan bahkan ribuan sumpah serapah untuk laki-laki itu.
"Maaf..."
Bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. Wajahnya menunduk dalam setelah mengatakan sesuatu yang menurutnya sangat menjatuhkan harga dirinya. Tangannya mengepal menahan semua sisi emosionalnya. Ia sangat ingin pergi dan menjauh secepatnya.
"Hah? Apa yang kau katakan? Aku tak bisa mendengarnya."
Okita menyahut dengan nada santai. Wajahnya menyeringai saat Kagura memberikan tatapan mematikan padanya. Takut? Tentu saja tidak. Sejak awal memang inilah tujuan seorang Okita Sougo. Sejak ia terbangun dan melihat sosok gadis vermillion itu. Ia ingin membuat Kagura berada dalam situasi dimana ia harus meminta maaf padahal emosinya sedang sangat mendidih.
"Kagura-chan, minta maaflah dengan cara yang benar."
"Hah? Aku sudah melakukannya dengan benar, aru."
"Kau harus mengatakannya dengan volume normal, Kagura-chan."
Kagura melipat kedua lengannya di dada. Memalingkan wajahnya dari Shinpachi yang seolah ikut memojokkannya. Berusaha mendinginkan kepalanya. Bibirnya mengerucut dan keningnya berkerut menahan rasa kesal yang hampir mencapai batas.
"Sumimasen deshita... cih!"
Dengan segera Kagura keluar dari ruang UKS setelah mengucapkan dua-kata-yang-menjatuhkan-harga-dirinya dengan sangat terpaksa. Shinpachi membungkukkan tubuhnya pada Yamazaki dan Okita sebelum akhirnya menyusul Kagura.
Ruangan yang tadinya ramai kini menjadi hening. Yamazaki hanya terdiam di tempat saat Okita tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari pintu UKS. Yah, sejak tadi ia memang merasa aneh tapi ia berusaha untuk memendam semua pertanyaannya dalam-dalam. Toh, pada akhirnya laki-laki berambut cokelat terang itu tak akan menjawab sesuatu sesuai dengan kata hatinya.
"..."
"Zaki, ayo kembali ke kelas."
"..."
"Kali ini aku memaafkanmu. Memaafkanmu karena telah pergi begitu saja sebelum aku sempat menanyakan namamu saat itu... gadis payung."
~ To Be Continued ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner