Minggu, 20 Maret 2016

Benang Merah Chapter 5 - Kusut (Gintama Fiction)

Cover (c) to the owner

[ Chapter 5 - Kusut ]


Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura

Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."




Note!
Cast adalah murni milik Sorachi Hideaki. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita dan tidak menyebarkannya tanpa izin penulis. Bagi yang tidak suka dengan pairing OkiKagu silahkan angkat kaki dan pergi sejauh mungkin dari dunia fiksi saya. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati.


~~~

/ Pasar Malam /

"Aku masih lapar, aru."

Kagura menggerutu sembari memegangi perut ratanya. Cacing-cacing dalam perutnya masih berteriak menginginkan makanan yang lebih. Padahal ia sudah memakan tiga porsi ramen. Untuk ukuran manusia normal itu sudah lebih dari cukup tapi tidak dengan Kagura. Rasa lapar yang masih melilit kuat perutnya membuat sistem pencernaannya menggila. Begitu pula dengan Kamui yang kini fokus membaca sebuah selebaran.

"Aku akan mendapatkan 5000 yen jika bisa mengalahkan orang ini?"

Kagura mendelik memandangi Kamui yang seolah sedang mencari sesuatu. Pandangan tajam Kamui berpencar sampai akhirnya manik biru laut itu berhenti pada sebuah tempat yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar di pintu masuknya. Tempatnya gelap dengan hanya disinari cahaya lampu yang remang-remang. Tanpa pikir panjang Kamui melangkahkan kakinya menuju tempat yang tampak berbahaya tersebut.

"Apa yang akan kau lakukan, aru?"

"Aku akan membawa banyak uang agar kita bisa makan sepuasnya jadi kau duduk manis saja disana dan tunggu kakakmu ini, Kagura."

Sahutnya sembari melambaikan tangan pada Kagura. Kagura berusaha menghentikan Kamui tapi ia merubah pikirannya setelah merasakan sesuatu. Aura iblis Kamui yang tersembunyi kini mulai memancar. Itulah yang dirasakan Kagura dibalik senyuman lugu kakaknya.

Senyuman manis yang setia menghiasi wajah Kamui hanya sebuah alasan untuk menyembunyikan jiwa berandalannya. Tak mempedulikan fakta bahwa tempat yang ia pijak saat ini bukanlah lokasi yang tepat untuk tersenyum. Namun, ia melakukannya hingga membuat dua penjaga itu merasa terprovokasi.

"Bocah sepertimu lebih baik tidur di pangkuan ibumu daripada bermain di tempat berbahaya seperti ini. Kau tidak mungkin menang melawan jagoan kami."

"Jangan mengadu pada ibumu jika kau dihajar habis-habisan oleh jagoan kami."

Kamui hanya menanggapinya diam. Dua orang bertubuh besar yang sejak awal tak berniat membiarkannya masuk mulai mengambil ancang-ancang untuk menghajar Kamui. Manik biru laut itu terbuka lebar memberikan tatapan tajam pada keduanya sebelum mereka sempat menyentuhnya.

'Bugh!'

Tangan kanan Kamui mengepal dan dengan cepat ia melayangkan tinju pada wajah salah satu dari mereka. Kaki kirinya ia hempas tepat ke bagian perut pria lainnya membuat orang itu tersungkur. Kamui lagi-lagi tersenyum setelah melihat darah mengucur dari hidung dan mulut keduanya.

"Jangan khawatir karena ibuku sudah tenang di surga jadi ia tak akan memarahi kalian berdua. Tapi jika kalian sangat ingin bertemu dengan ibuku maka aku bisa membantunya, loh."

Jelasnya santai masih dengan mimik tersenyum. Kedua pria yang berhasil dijatuhkannya kembali bangkit dan berusaha menyerang Kamui secara bersamaan. Namun, itu tidak membuatnya gentar barang sedikit. Ia justru semakin bersemangat menghajar keduanya hingga babak belur.

"Aku datang ke tempat ini untuk menghajar jagoan kalian dan membawa semua hadiahnya. Tapi aku tidak keberatan jika harus menangani beberapa ekor kecoak terlebih dulu."

"..."

"Eh? Apa kalian sudah tak sadarkan diri hanya karena pukulan dari seorang bocah?"

Tak ada jawaban keluar dari mulut yang diajukan pertanyaan. Kamui pun melenggangkan kaki meninggalkan dua manusia yang kini tertidur pulas di tanah. Atau lebih tepatnya terjerembab ke tanah lalu kehilangan kesadarannya. Kagura yang sudah menebak kejadian ini hanya memandangi punggung kakaknya yang kemudian menghilang dibalik pintu. Ia hanya mengawasi dari kejauhan tak berniat mendekati tempat itu karena terlalu berbahaya untuk gadis kecil sepertinya.

Ia memang sedikit mengkhawatirkan Kamui tapi ia yakin kakak idiotnya itu bisa menangani masalah selanjutnya sendirian. Melihat bagaimana dua pria bertubuh besar itu ditumbangkan dengan mudahnya. Mereka hanya sekumpulan laki-laki yang membesarkan otot-otot tubuh tapi tak menggunakannya dengan efektif. Begitulah pikirnya.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, nona?"

"Sial! Ada yang memergokiku, aru!"

Kagura sontak melarikan diri setelah bisikan halus dari arah belakang membuat bulu kuduknya merinding. Bukan karena ketakutan tapi ia tak ingin terlibat masalah dengan seorang gangster. Ia masih terlalu dini dan terlalu lugu untuk menjadi karakter mengerikan seperti kakaknya. Namun, orang itu jauh lebih cepat darinya dengan menarik kerah bagian belakang Kagura hingga membuatnya tak dapat melarikan diri.

"Aku bukan orang mencuriga- hmmppp!"

Laki-laki itu membungkam paksa mulut Kagura dengan tangan kanannya. Lengan kirinya ia gunakan untuk mengunci leher gadis vermillion itu. Melakukannya dengan sekuat tenaga hingga gadis itu diam dan tak melawan. Kagura memejamkan matanya menahan sakit karena merasa tercekik dan sesak. Sementara si pelaku kini tengah menyeringai puas melihat ekspresi kesakitan Kagura.

"Sepertinya kau punya bakat menjadi seorang masokis, China."

"Eh? Apa dia barusan memanggilku China, aru?"


"Bagaimana menurutmu? Aku bisa memberikan rasa sakit yang lebih da- arrgghh!"

Sougo berteriak kencang ketika Kagura menggigit kuat tangan dan lengannya. Seperti harimau yang merobek kulit mangsa dengan taring tajamnya. Kagura pun melakukan hal yang sama dengan menggigit lengan Sougo hingga berdarah. Tak ingin membuang kesempatan untuk membalas dendam. Kagura mendorong tubuh Sougo hingga membentur dinding. Tangan kanannya lalu mengepal dan melayang menuju wajah Sougo. Namun, laki-laki berambut cokelat terang itu berhasil menahannya.

"Beraninya kau menyentuhku, aru!"

Kagura berucap frustasi lalu kembali melayangkan tinju dengan tangan kirinya. Tapi lagi-lagi Sougo berhasil menahannya. Kedua tangan mungil itu kini berada dalam jangkauan Sougo sehingga Kagura tak bisa menghajar wajahnya lagi. Namun, gadis itu berpikiran lain dengan berniat menendang selangkangan Sougo menggunakan kakinya yang masih bisa bergerak bebas.

"Aku akan menindihmu jika kau menendangnya."

DEG!

Kagura merasa seluruh tubuhnya kaku saat kalimat itu keluar dari mulut Sougo. Nada bicaranya memang terdengar santai tapi itu adalah sebuah ancaman mengerikan bagi Kagura. Gadis vermillion itu menelan kasar ludahnya ketika menyadari bahwa laki-laki berambut cokelat terang itu tidak sedang bercanda. Manik crimson itu seolah siap untuk menelannya kapan saja. Membuatnya ragu dan berpikir ulang untuk menyakiti seorang Okita Sougo.

"Aku akan berteriak jika kau melakukan itu, aru."

"Kalau begitu aku hanya perlu membungkam mulutmu."

"Kau tidak bisa membungkam mulutku karena kedua tanganmu menahan tanganku, aru."

"Siapa yang mengatakan bahwa aku akan membungkamnya dengan tangan? Aku akan membungkamnya dengan bibirku jika itu diperlukan."

DEG!

Lagi, lidah Kagura terasa kelu hingga tak mampu membalas ucapan laki-laki berambut cokelat terang itu. Nada bicara yang seolah menggodanya membuat Kagura harus mati-matian menahan rasa gugupnya. Tentu saja ia benci menyadari bahwa perasaan yang mengerubungi hatinya saat ini disebabkan oleh laki-laki mesum yang berdiri sangat dekat dengannya.

"Jangan salah paham dulu, China. Aku melakukan itu agar kau tidak menyakitiku lebih jauh bukan karena sesuatu yang istimewa. Lagipula, aku lebih memilih berciuman dengan gadis polos daripada gadis liar sepertimu."

'Tap!'

Sebuah kaleng kosong melayang tepat mengenai kepala Sougo. Kagura mendelik mencari tahu siapa pelakunya. Pupilnya seketika membesar menyadari siapa orang tersebut. Kamui berdiri beberapa meter dari tempat keduanya dengan pandangan tak senang.

"Apa kau sedang melakukan hal tak senonoh pada adikku?"
 
Nadanya terdengar dingin dan menusuk. Sougo melepaskan Kagura menyadari bahwa laki-laki berambut panjang itu tak senang dengan sikapnya. Ya, ia mengakui bahwa ia sedikit berlebihan tapi Sougo sama sekali tak berniat buruk pada Kagura. Memang seperti itulah sifat alaminya yang selalu ingin membuat gadis vermillion itu kesal.

"Adikmu terlalu bersemangat saat melihatku dan akhirnya menggigit lenganku hingga berdarah seperti ini jadi aku melakukan upaya untuk melindungi diri. Dia seperti anjing liar jadi aku berusaha menjinakkannya."

"Dia mengagetkanku dan mengatakan hal-hal mesum yang menodai pikiran suciku karena itulah aku menggigitnya, aru!"

Kagura berucap meyakinkan sedangkan Sougo hanya memasang wajah malas. Kamui mendekat lalu berdiri tepat di depan Sougo. Mata keduanya beradu seolah siap membunuh satu sama lain. Kagura yang merasakan firasat buruk berusaha untuk menghentikan keduanya. Ia sadar betul apa yang akan terjadi jika dua makhluk sadis itu benar-benar bertengkar.

"Kita bisa membicarakannya baik-baik, aru."

Kagura menelan kasar ludahnya saat dua laki-laki di hadapannya tak memberikan jawaban apapun. Ia bahkan melambaikan kedua tangannya di depan wajah Kamui dan Sougo. Namun, kedua manusia itu bahkan tak berkedip barang sedetik.

"Aku akan memaafkan perbuatanmu jika kau memberikan 1000 yen padaku."

Kamui bersuara dan sukses membuat Kagura merasa tak memiliki harga diri. Kagura memang tak ingin melihat mereka bertengkar tapi bukan berarti Kamui harus membuat penawaran yang mempermalukan Kagura seperti itu. Fakta bahwa kakaknya hanya meminta seribu yen untuk menyelesaikan permasalahan ini benar-benar membuatnya geram.

"Apa kau menjual harga diriku hanya untuk 1000 yen, aru?"

"Bukankah itu terlalu mahal, Bakamui? Bisa beri aku diskon?"

"Memangnya aku ini apa? Kenapa kau meminta diskon, aru?"

"Diskon ya? Kalau begitu aku beri diskon 10% karena aku sedang berbaik hati."

"Mati saja kalian berdua, aru!"

Kagura berteriak frustasi lalu berlari meninggalkan dua sosok manusia yang menurutnya sangat menyebalkan. Suasana hatinya benar-benar berubah buruk setelah bertemu dengan Sougo. Ditambah sikap kakaknya yang seolah tak mempedulikannya. Entah kenapa laki-laki berambut cokelat terang itu selalu merusak suasana hatinya. Seperti awan mendung yang merusak kilau cahaya mentari.
.
.
"Aku benar-benar muak dengan mereka, aru."

Pandangannya berpencar mencari tempat yang tak ramai pengunjung agar bisa menenangkan diri. Langkah pendeknya tertuju pada kursi yang berada tak jauh dari sebuah pohon maple. Tempatnya pun diterangi cahaya lampu berkelap-kelip yang dililitkan di pohon tersebut. Setidaknya ia bisa sedikit menghibur diri disana, pikirnya.

"Si sadis itu selalu mempermainkanku. Dia benar-benar membuatku benci dengan makhluk yang bernama laki-laki, aru."

Gumamnya pada diri sendiri sembari mengunyah sukonbu yang sejak tadi tersimpan di dalam saku celananya. Kagura menyandarkan punggung kecilnya pada kursi dan menarik napas dalam-dalam. Kepalanya mendongak menatap langit malam yang dihiasi kelap-kelip bintang.

"Sukonbu tidak akan membuatmu kenyang, Kagura."

Kagura mendengus malas ketika suara lembut itu memasuki indera pendengarannya. Baru saja ia merasakan kenyamanan dunia dengan memandangi langit tapi kesenangannya kembali dirusak akibat kehadiran Kamui. Wajahnya dihiasi senyum seperti biasa membuat gadis mungil itu semakin kesal jika melihatnya. Kamui mengulurkan tangannya menyodorkan satu plastik besar yang penuh berisi camilan.

"Dia membelikannya untukmu, loh."

"Tidak mau, aru!"

"Kau masih marah pada kami berdua, China?"

Keningnya semakin berkerut ketika telinganya menangkap satu lagi suara yang tak asing. Kagura menundukkan kepalanya dalam-dalam berusaha mengendalikan diri. Namun, dua orang yang sangat ingin dihindarinya justru duduk tepat di kedua sisinya. Kamui di sisi kanan dan Sougo di sisi kirinya.

"Sepertinya si bodoh ini sedang tidak lapar jadi kita habiskan saja makanan ini, Bakamui."

"Aku setuju denganmu, Ahokita-kun."

'Kruuuuk'

"Sial! Kenapa perutku berbunyi disaat seperti ini, aru?!"

Kagura semakin menundukkan kepalanya dalam sembari memegangi perutnya. Berusaha agar bunyi cacing dalam perutnya tak terdengar oleh dua manusia di sampingnya. Namun, tentu saja itu hal yang sia-sia karena mereka berdua sudah mendengarnya dengan sangat jelas karena keheningan di sekitar mereka.

"Apa kau mendengar sesuatu, Bakamui?"

"Sepertinya hanya bunyi jangkrik, Ahokita-kun."

"..."

Sougo memicingkan matanya pada Kagura yang masih tertunduk. Kamui yang sibuk mengunyah camilan pun memperhatikan gerak-gerik laki-laki berambut cokelat terang itu dengan teliti.

"Dia selalu menatap adikku dengan pandangan seperti itu."

"Apa perlu aku menyuapimu, China?"

"Tidak perlu. Aku bisa memakannya sendiri, aru."

Balas gadis vermillion itu setelah memberanikan diri mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Kagura sudah tak peduli dengan harga diri dan hal merepotkan lainnya. Yang ia inginkan saat ini hanyalah makanan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Tangannya lalu merogoh plastik mengambil bungkusan yang paling besar agar lebih mengenyangkan.

"Jangan salah paham ya. Aku mengambil makananmu bukan karena aku kelaparan. Aku hanya tidak suka menyia-nyiakan kebaikan orang lain, aru."

"Jangan salah paham ya. Aku membelikan makanan ini bukan karena merasa bersalah padamu. Aku hanya merasa dompetku terlalu berat jadi aku sedikit mengurangi isi dompetku agar lebih ringan."

"Sepertinya kalian terikat oleh benang yang kusut."

Kamui berceletuk sembari memberikan senyum polos pada Kagura dan Sougo. Kagura yang mengerti maksud sang kakak berusaha menyanggah. Namun, ia justru tersedak karena berbicara sambil mengunyah. Sougo yang duduk di sampingnya dengan sengaja menepuk kuat punggung kecil Kagura hingga makanan dalam mulutnya dimuntahkan kembali.

"Kau tidak perlu menepuknya sekuat itu, aru!"

Sahutnya kesal. Sougo hanya memasang mimik datar seperti biasanya padahal jauh di dalam sana ia merasa puas bisa melihat ekspresi kesal Kagura yang terlihat epik baginya. Kemarahan gadis vermillion itu seperti sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Sougo.

"Ibarat benang kusut, tampak rumit dan tak beraturan tapi itulah yang membuatnya menjadi sulit untuk dipisahkan."

"Jangan berkata seolah-olah aku dan adikmu yang bodoh ini terhubung oleh benang merah, Bakamui."

"Kau yang mengikat adikku dengan benang merah di kelingkingmu, Ahokita-kun."

"Daripada mengikatnya dengan benang akan lebih sempurna jika aku merantainya."

Sougo berucap santai. Kagura yang sejak tadi hanya menjadi pendengar pun tak berniat mengatakan sesuatu. Lebih tepatnya ia tak peduli dengan pembahasan mereka berdua. Pikirannya sibuk mengingat sesuatu yang tersimpan dalam memori jangka panjangnya. Mitos mengenai 'Benang Merah' yang pernah dibacanya saat itu. Dan hari dimana ia memberikan sebuah payung pada seorang bocah cengeng yang menangis di bawah hujan.

"Payung yang dibawa Mitsuba-nee memang sama seperti milikku. Tapi tidak mungkin bocah cengeng itu adalah orang ini. Bocah yang aku temui saat itu memiliki kesan yang baik tapi si sadis ini justru sebaliknya, aru."

"Lagipula, aku sudah terikat benang merah dengan gadis lugu yang meminjamkan payung padaku delapan tahun lalu."


DEG!

~ To Be Continued ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner