Jumat, 05 Juni 2015

Call Me Daddy

CALL ME DADDY
©2015 PRESENT BY JUN PLANET
Cover by “Cover Fanfiction – Lidya Kim”

Author          : Riska Junaini
Length          : One shoot
Rating           : PG 17+
Genre            : Hurt/Comfort
Cast             : Park Chanyeol & Lee Ji Yoon (OC)

PLAGIARISM? THAT’S NO NO!
DON’T READ IF YOU DON’T LIKE

~~~

“Kau kabur dari rumah lagi, Chanyeol?”

Aku menganggukkan kepalaku malas sambil tetap fokus menatap layar televisi yang ada di ruang tamu rumah Baekhyun. Sebungkus honey butter chips ada di genggaman tangan kiriku sementara tangan kananku sibuk mengorek-ngorek isinya yang hampir habis dan menyuapkannya ke mulutku, memanjakan indera pengecap yang sudah lama tidak merasakan surga dunia yang disebut manis.

“Bulan lalu kau kabur ke rumah Sehun dan sekarang kau bersembunyi di rumahku. Aku tidak ingin ayahmu datang dan menyemburku seperti yang Sehun alami karena membantumu bersembunyi, jadi cepatlah pulang, Chanyeol.”

Aku merebahkan tubuhku di sofa empuk berwarna merah maroon milik Baekhyun, mencari posisi yang nyaman untuk tidur hingga beberapa detik kemudian laki-laki itu melempar bantal sofa ke wajahku, marah karena aku mengabaikannya.

“Hanya malam ini saja, Baek. Besok aku akan menginap di rumah Sehun jadi kau tidak akan disembur ayahku.”

“Daripada berpindah-pindah tempat, lebih baik kau kembali ke rumahmu, yoda! Kau seperti gelandangan jika seperti ini terus.”

Gelandangan?

Mungkin benar apa yang Baekhyun katakan. Aku seperti gelandangan yang tak tahu harus berteduh dimana dan tak punya tujuan. Malah mungkin lebih rendah dari gelandangan, karena mereka masih punya tujuan yang jelas dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang mengelilingi kota mengharap belas kasih orang lain demi kelangsungan hidup keluarganya. Mereka tinggal bersama keluarganya dengan tenteram meskipun di tempat yang tak layak disebut sebagai rumah. Sementara aku? Aku tidak tahu entah apa yang aku lakukan selain menandatangani tumpukan berkas-berkas di kantor hingga jemariku terasa kaku.

Untuk apa aku melakukannya?

Untuk siapa aku melakukannya?

Untuk ayahku? Untuk ibuku?

Tidak! Mereka bahkan tidak peduli!

Yang mereka tahu hanyalah aku harus bekerja agar perusahaan tetap berjalan.

Jadi, aku ini apa?

Robot?

Bahkan jika ayahku mencariku, alasannya hanya satu, karena ia tidak ingin dicap sebagai direktur yang buruk karena membiarkan anaknya terus-terusan absen di kantor.

Cih!

Reputasinya lebih penting dibandingkan perasaan anaknya sendiri.


“Mau sampai kapan kau terus kabur saat ayahmu ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita? Kau ingin lajang seumur hidup? Memangnya kau tidak ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ayah? Merasakan bagaimana suka dan duka saat kau bekerja demi istri dan anakmu, apa kau tidak ingin merasakan hal itu, Chanyeol?”

Tentu saja aku ingin merasakannya, Baekhyun bodoh!

Aku penasaran bagaimana rasanya bekerja keras demi orang-orang yang kucintai. Bagaimana rasanya setiap pagi dipasangkan dasi oleh istriku lalu mengecup keningnya. Bagaimana rasanya saat sepulang kerja, ada malaikat kecil yang menyambutku di depan pintu dengan senyuman manisnya.

Dan…

Bagaimana rasanya dipanggil ‘ayah’.

Aku ingin merasakannya, tapi bukan berarti aku harus menuruti kemauan ayahku dan menikah dengan gadis pilihannya. Itu tidak bisa menjamin masa depanku karena keyakinan utamaku dalam memandang arti keluarga adalah rasa saling mengasihi dan melindungi satu sama lain, bukan sekedar formalitas.

Jika rumah adalah tempatmu berteduh dari hujan dan salju, maka keluarga adalah api yang akan menghangatkanmu dari dinginnya. Dan jika rumah adalah tempatmu berlindung dari teriknya mentari, maka keluarga adalah air yang akan menyejukkan pikiran dan batinmu.

Aku tidak ingin siapapun merusak impianku tentang keluarga yang kuinginkan. Karena itulah, tidak peduli meskipun mereka adalah orangtuaku aku tetap akan menentangnya jika menurutku mereka hanya akan merusak impianku.

“Atau kau masih berharap bisa menemukan ‘dia’?”

Hening.

Aku selalu skakmat jika teman-temanku sudah mengajukan pertanyaan itu. Meski aku menjawabnya tidak mereka tetap saja tahu bahwa aku berbohong. Dan saat aku diam tak menjawab, mereka mengambil kesimpulan bahwa diam sama dengan mengiyakan. Tapi itulah kenyataannya…

Aku berharap bisa menemukannya…

Dan menepati janjiku waktu itu.

~~~

“Menginap di rumah Baekhyun dan Sehun, berangkat kerja dengan menumpang di mobilku padahal kau anak direktur. Kasihan sekali kau, Chanyeol.”

“Berisik kau, Jongdae.”

Aku mengurut keningku pelan sembari memandangi jalanan yang memang sedang ramai karena ini adalah waktunya orang-orang berangkat bekerja. Tidur di sofa Baekhyun ternyata tidak senyaman tidur di sofa Sehun, buktinya saat bangun seluruh tubuhku terasa nyeri dan kepalaku berdenyut. Mungkin karena ia tidak ikhlas membiarkanku menginap? Entahlah, yang jelas kepalaku sakit sekarang ditambah fakta bahwa aku terpaksa harus memohon pada makhluk bernama Jongdae agar bisa menuju kantor karena kami bekerja di tempat yang sama.

Ocehannya yang terus mengejekku benar-benar membuat kepala terasa akan meledak. Ia adalah sahabat yang paling sering membuatku jengkel tapi ia juga bisa diandalkan di saat-saat tertentu, contohnya seperti sekarang.


“Bagaimana jika aku yang membantumu mencari pasangan hidup? Kau mau, Chanyeol?”

“Tidak perlu. Bisa-bisa kau mengenalkan seorang ahjumma tua padaku.”

“Haha. Kau memang yang paling pintar membaca pikiranku, Chanyeol.”

“Itu karena pikiranmu adalah yang paling tidak beres.”

“Hey, aku masih lebih baik jika dibandingkan dengan pikiranmu yang kotor.”

“Sudah! Fokus saja menyetir, unta sialan!”

Umpatku kesal. Unta adalah sebutan untuk Jongdae sejak kecil. Begitu pula dengan sebutan yoda yang Baekhyun umpatkan padaku kemarin, itu adalah panggilan dari mereka –Baekhyun, Jongdae, Sehun- untukku sejak kecil dan menjadi panggilan hingga sekarang meski tidak sesering dulu.


‘BAMM’

Benturan yang tidak terlalu keras dari arah belakang sukses membuatku dan Jongdae terkejut dan spontan menepikan mobil ke pinggir jalan. Aku menoleh ke arah belakang dan melihat mobil berwarna putih itu juga menepi. Sang pengemudi yang seorang laki-laki bersama dengan bocah laki-laki keluar dari dalam mobil bersamaan dengan kami dan menghampiri kami.

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja karena sedang terburu-buru ingin mengantar putraku.”

Ucapnya dengan irama tenang sambil memperhatikan bagian belakang mobil Jongdae yang terlihat sedikit reot. Laki-laki itu berjongkok untuk melihat kerusakannya lebih jelas tanpa melepas genggaman tangan anaknya. Ia sepertinya lebih tua dariku beberapa tahun. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa iri hanya dengan melihat adegan itu.

Kehidupan laki-laki ini pasti menyenangkan.


“Tidak apa-apa, ini hanya reot sedikit. Jika dibawa ke bengkel pasti akan terlihat seperti baru lagi. Kau tidak perlu ganti rugi karena temanku yang bernama Chanyeol ini adalah anak seorang direktur jadi aku bisa mengandalkannya. Lagipula, kau harus mengantar si pangeran kecil ini sebelum dia terlambat.”

Entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi raut wajah laki-laki itu berubah saat Jongdae menyebut namaku, terlebih lagi saat kami saling bertemu pandang, mungkin ia tidak yakin dengan ucapan Jongdae soal aku adalah anak seorang direktur karena penampilanku saat ini memang tidak mencerminkan seorang keturunan berdarah biru. Rambut yang kusisir seadanya karena terlambat bangun dan pakaian yang terlihat kusut karena aku melipatnya asal sebelum kabur ke rumah Baekhyun.

Aku memperhatikan wajah laki-laki itu. Laki-laki itu memiliki alis tebal yang membuat tatapannya terlihat tajam dan sedikit menakutkan tapi nada bicaranya benar-benar santun dan berwibawa. Jika dilihat-lihat ia cukup pantas menjadi seorang model dengan visualnya yang enak dilihat dan postur tubuhnya yang tinggi.

Jika aku sepertinya apa aku bisa seberuntung dia?

Otakku langsung saja menyimpulkan bahwa laki-laki ini memiliki kehidupan yang jauh lebih menyenangkan jika dibandingkan denganku. Ya, kecemburuan yang bergemuruh di dadaku selalu muncul setiap kali aku melihat adegan ayah dan anak yang sedang bersama.

Aku…

Sangat ingin menjadi seorang ayah.


“Sekali lagi maaf aku sudah mengacaukan kegiatan kalian berdua. Jika ada ganti rugi yang harus kubayar silahkan hubungi aku di nomor ini.”

Laki-laki itu mengetikkan nama dan nomor ponselnya dan menyimpannya di ponselku karena kebetulan Jongdae lupa membawa ponselnya. Ia tersenyum ramah sebelum kembali masuk ke dalam mobil putihnya diikuti dengan sang anak yang terlihat sangat menggemaskan. Ia bahkan membungkukkan tubuhnya saat sang ayah meminta maaf. Laki-laki itu pasti sangat tekun mengajari bocah itu tata krama.

‘Kris’

Mungkin saja aku bisa berkonsultasi dengannya suatu hari dengan bermodalkan sikap nekatku. Sekedar bertanya bagaimana ia menjalani kehidupannya sebagai seorang ayah – mungkin.

Sial!

Aku benar-benar iri.

Dan juga…


Bocah itu,
Terlihat mirip dengan seseorang.

~~~

Waktu makan siang sudah tiba. Para pekerja yang sedari pagi sibuk dengan komputer dan tumpukan-tumpukan dokumennya kini sejenak membebaskan diri dari rutinitas dan mengisi energi untuk pertempuran selanjutnya yang disebut lembur. Bekerja di kantor tidaklah semudah yang orang-orang pikirkan walau faktanya gaji yang diterima memang besar tapi tetap saja rasanya bekerja di kantor tidak seenak seperti yang kubayangkan saat masih SMA.

Seperti biasa, aku menghampiri meja salah satu staff yang memang satu ruangan denganku yang sudah seperti ayah kedua bagiku. Aku hanya duduk dan memasang wajah termanisku agar ia mau sedikit berbagi makanannya untukku.

“Dasar bocah tengik!”

“Ayolah Paman, apa kau tidak kasihan padaku? Aku belum makan apapun sejak pagi.”

“Karena itu kau harus segera menikah agar istrimu membuatkanmu sarapan dan bekal.”

Aku hanya menggumam malas lalu mengambil kimbab yang ada dalam kotak makan Paman Kim dan sejurus kemudian ia mengetuk kepalaku menggunakan sendok. Aku mengerang pelan sambil mengusap pucuk kepalaku.

“Ini adalah pemberian dari tetanggaku. Ia selalu memasak dalam porsi banyak dan sering membaginya padaku bahkan hampir setiap hari. Ia wanita yang sangat pintar memasak.”

“Paman bilang ia wanita? Apa ia cantik? Aku sangat suka wanita yang jago masak.”


‘TUK’

Paman Kim lagi-lagi mengetuk pucuk kepalaku menggunakan sendok lalu mengambil dua kimbab dari dalam kotak bekal dan melesakkan dua kimbab itu ke mulutku dengan kejam.

“Ia sudah menikah, bocah tengik!”


Aku mengunyah kimbab yang memenuhi mulutku dengan susah payah. Dan setiap kali rasa-rasa makanan itu mengecap di lidahku, aku merasakan bayang-bayangnya melintasi pikiranku. Bayangan seorang gadis yang sedang tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku, seperti sambutan yang diberikan oleh hamparan mawar putih.

Hamparan mawar putih yang lugu dan bersih dan sejurus kemudian berubah menjadi hamparan mawar hitam yang membuat memoriku tentangnya menguar seketika.

Yang terputar di otakku sekarang hanyalah ingatan akan dosa yang telah ku lakukan padanya, pada mawar putih itu.


“…yeol”

“Chanyeol…”

“Eh? Iya Paman?”


Aku segera tersadar dari ingatan masa lalu dan segera menghapus dinding semu yang membelenggu perasaanku untuk tetap tinggal disana, tapi usahaku hanyalah sia-sia. Dinding semu itu tetap tak bisa kuhapus dan tetap membelenggu perasaanku hingga sekarang di sebuah ruangan tak berpintu yang disebut masa lalu.

Apa yang ku lakukan di masa lalu saat bersamanya adalah hal yang paling buruk tapi juga yang terbaik. Seperti sebuah baterai. Ada kutub negatif dan ada kutub positif. Tidak akan berfungsi jika hanya memiliki salah satu kutub.

“Kau baik-baik saja? Kau terlihat kosong. Apa kau memikirkan sesuatu?”

Ya.

Aku memikirkan sesuatu tapi aku menggelengkan kepalaku pada Paman Kim sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan pengap itu untuk mencari sedikit udara segar.

Hitam dan putih.

Ia adalah putih, sesuatu yang suci, bersih, dan lugu.

Dan aku adalah hitam, sesuatu yang kotor, kelam, dan gelap.

Aku adalah hitam yang menyipratkan bercak hitam pada sang putih. Aku adalah kotor yang menodai bersihnya sang putih. Dan aku adalah hitam yang menelan sang putih dalam kelamku.


Lenguhan.

Rintihan.

Saat ia menyebut namaku.

Semua masih terekam jelas meski sudah berlalu 4 tahun yang lalu.


~ flashback ~

Kesan pertamaku saat masuk di SMA Yosen adalah individualis. Tidak ada satu orangpun yang menyapaku apalagi mengajakku untuk menjadi teman sebangku. Aku hanya mematung di depan pintu kelas sembari mencari kursi kosong untuk diduduki dan akhirnya kursi di bagian paling belakang adalah tempat yang tersisa karena mereka semua sangat bersemangat untuk mendapatkan bangku terdepan layaknya bocah sekolah dasar. Jika bukan karena paksaan dari ayahku, aku lebih memilih untuk masuk ke SMA yang sama seperti Baekhyun, Jongdae, dan Chen.

SMA Yosen adalah SMA yang terkenal karena hanya menerima murid-murid dengan prestasi akademik yang baik. Itu bukanlah hal yang sulit untuk orang-orang yang cukup jenius sepertiku dan orang-orang yang ada di kelas ini. Sifat sombong memang identik dengan jenius tapi tidak kusangka mereka separah ini hingga tak ada satupun yang menyapaku. Suasana kelas bahkan sepi karena masing-masing dari mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku memperhatikan orang-orang individualis itu dari balik lensa mataku sebelum akhirnya sosok seorang gadis tiba-tiba muncul dan sukses mengejutkanku.

“Apa kursi di sebelahmu masih kosong?”

“Ya.”

“Boleh aku duduk disini.”

Aku menatap seisi kelas. Hanya tersisa dua kursi kosong. Kursi di sampingku dan kursi disamping Jiyeon –teman sekelasku saat SMP. Kenapa dia tidak duduk disamping Jiyeon saja?

“Dia bilang kursi disampingnya untuk seseorang.”

Gadis itu menjawab seolah-olah ia bisa membaca pikiranku. Kalau begitu apa boleh buat, tidak mungkin aku berkata tidak saat yang tersisa hanyalah kursi di sampingku. Lagipula, kelihatannya ia berbeda dengan orang-orang individualis itu.

“Namaku Lee Ji Yoon.”

Kenapa dia tiba-tiba memperkenalkan diri sambil tersenyum seperti itu?

Dan kenapa pula reaksiku malah seperti orang linglung?

“Aku, Park Chanyeol.”

Rasanya sama seperti saat cahaya mentari menyapamu ketika kau baru dilahirkan ke dunia ini.

Hangat.

~~~

“Wah, ternyata kau bisa main gitar, Chanyeol?”

“Aku hanya belajar secara otodidak.”

“Tapi itu luar biasa! aku pernah mencoba bermain gitar tapi tidak bisa. Sepertinya aku memang payah jika soal musik.”

“Mau kuajari?”


Satu.

Hal pertama yang membuat obsesiku padanya semakin bertumbuh.


“Letakkan jari manis disini, jari tengah disini, dan telunjuk disini.”

‘jreg---‘

“Eh, bunyinya tidak enak.”

Aku hanya tertawa kecil saat mendengar petikan gitarnya yang tidak sesuai dengan nada yang seharusnya. Sepertinya ia memang sedikit payah jika soal musik, karena ia selalu kelihatan panik jika Han seonsaengnim –guru musik SMA Yosen- memasuki kelas kami, tapi untuk pelajaran yang lain Ji Yoon memang jenius, bahkan lebih baik dariku.

“Kau harus menekan kuncinya dengan kuat seperti ini.”

Halus.

Seperti ada sengatan listrik yang menyambar kulitku saat indera peraba kami saling bersentuhan. Bukan sengatan yang membuatku trauma, tapi justru membuatku ingin merasakannya lagi. Menimbulkan rasa candu yang sulit dibendung.


“Chanyeol.”

Ia menatapku. Secepat kilat aku melepaskan tanganku darinya dan malah menjadi salah tingkah karena ia masih saja menatapku. Tatapan yang penuh keluguan.

“Maaf, aku tidak bermaksud menyentuh–“

“Tanganmu besar sekali, Chanyeol. Jika dilihat-lihat jari-jariku terlalu kecil jadi sulit untuk berpindah dari kunci pertama ke kunci kedua.”

Dua.

Alasan kenapa aku semakin tertarik padanya hingga akhirnya berubah menjadi obsesi.


Ia lugu.
Ia menarik.

Dia tidak menyadarinya.
Menyadari perasaanku yang mulai tumbuh.

“Aku dibesarkan di panti asuhan sejak kecil. Aku bahkan tidak tau siapa orangtuaku. Sejak kecil aku juga selalu dijauhi teman-teman yang lain karena guru-guru dikelas selalu memujiku. Mereka bilang aku pencari perhatian. Tapi Chanyeol memperlakukanku dengan sangat baik, karena itulah aku sangat senang bisa berteman denganmu, Chanyeol.” –Lee Ji Yoon-

Ia adalah mawar putih yang tumbuh di tanah kering.

Terlihat tidak mungkin tapi ia bisa melalui semuanya dan terus hidup.

Menjadi mawar putih yang indah dan bersih.

~~~

Sudah tiga tahun semenjak pertemuanku dengan Ji Yoon di SMA Yosen hingga akhirnya malam ini tiba. Pesta perpisahan yang diadakan Jiyeon bagi seluruh murid SMA Yosen tahun ketiga. Ji Yoon, gadis yang selalu memenuhi dunia fantasiku itu hanya duduk diam sambil menggenggam gelas berisi soju yang dituangkan oleh Jiyeon untuknya. Aku hanya tertawa kecil melihat kekonyolan yang sedang Jiyeon lakukan. Memberikan soju pada Ji Yoon sama saja seperti memberikan kopi pada balita.

“Aku tidak minum soju, Jiyeon.”

“Kau sudah 19 tahun kan? Kau harus mencobanya.”

“Tapi..”

“Sedikit saja.”


‘UHUK!’

“Rasanya aneh!”

Kurapatkan tubuhku pada Ji Yoon yang sedang menahan rasa mual karena tidak pernah meminum soju sebelumnya. Dan tepat saat aku berada di dekatnya ia meremas kuat tanganku dan memuntahkan kembali minuman yang sepertinya sangat memuakkan baginya.

Memuntahkannya tepat di bajuku.

“Chanyeol… maaf.”

Ia menundukkan kepalanya dan terlihat takut. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Ji Yoon seperti ini. Apa ia ketakutan? Awalnya Ji Yoon memang tidak ingin ikut dalam acara ini tapi aku terus membujuknya dan mengatakan bahwa aku akan melindunginya dari siapapun jika nanti ada yang mengganggunya tapi aku justru membiarkan Jiyeon melakukan hal itu padanya, entah kenapa aku juga ingin melihat Ji Yoon yang polos merasakan hal-hal itu.

Menyenangkan.

“Tidak apa-apa, aku akan membersihkannya di toilet.”

~~~

Pandanganku tertuju pada sosok mungil yang berdiri sembari menyodorkan tisu padaku. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan terlihat merah, mungkin karena efek soju tadi.

“Maaf aku sudah mengotori pakaianmu.”

Ia melangkah dan berdiri tepat di hadapanku lalu menyeka bagian yang basah di pakaianku. Entah kenapa aku hanya diam. Menikmati waktu yang indah saat ia berada sangat dekat denganku seperti sekarang.

Ji Yoon,

Tinggi badannya hanya sebatas dadaku.

Ia sangat pas untuk kudekap.

“Kau takut?”

Dengan seenaknya kedua tanganku menangkup wajahnya saat rasa takut itu semakin tergambar jelas. Bola mata yang membuat pandanganku terpaku pada tiap-tiap pahatan indah di wajahnya. Denyut-denyut aneh yang semakin cepat saat jari-jariku mengusap lembut pipinya hingga menimbulkan rona merah yang membuatku semakin menginginkannya.

Aku adalah laki-laki.

Laki-laki mana yang tidak menginginkan hal seperti ini.

Laki-laki mana yang tidak menginginkan fantasinya menjadi nyata.

Dress yang memperlihatkan kulit bahunya yang bersih tanpa luka sedikitpun dan mata yang bening seperti kristal. Bibir merah jambu yang membuatku penasaran akan rasanya. Maniskah?

Pipinya yang sangat sensitif merona dengan mudahnya hanya dengan usapan ibu jariku. Bagaimana dengan bagian yang lainnya? Aku ingin tahu.

‘Chu’

Kecupan lembut yang tak bisa kubendung lagi setelah tiga tahun menahan semua perasaanku. Kecupan lembut yang menyalurkan keinginanku akan dirinya. Kecupan lembut yang kudaratkan pada bibirnya yang membuat darahku memanas. Memanas hingga kecupan itu perlahan berubah menjadi lumatan lembut dan penuh penekanan.

Tak ada yang kudengar selain deru napasnya.

Ia menutup matanya tapi tak membalas ciumanku.

Ji Yoon,
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya untukku tapi…
Ia tidak menolak dengan apa yang kulakukan padanya sekarang.


“Aku menginginkanmu, Ji Yoon…”

~~~

“Ternyata kau berani juga ya, Chanyeol.”

Diam.

“Ceritakan padaku bagaimana pengalaman pertamamu saat melakukannya?”

Kuatur napasku sebisa mungkin.

“Apa kau menggunakan proteksi, Chanyeol?”

“Tidak, aku tidak sempat membelinya tapi ia mengatakan padaku bahwa ia sedang dalam masa tidak subur jadi sepertinya semua akan aman-aman saja.”

“Yang lebih penting, apa kau yakin ia tidak ‘positif’? Jika itu terjadi aku sangat kasihan padanya karena belum tentu kau akan bertanggung jawab.”

“Tentu saja aku akan bertanggung jawab! Aku sudah berjanji padanya jika hal itu terjadi aku siap bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukan padanya. Seorang laki-laki tidak akan mengingkari janjinya!”

Ucapku meyakinkan Baekhyun, Sehun, dan Jongdae setelah mereka meremehkanku seperti itu. Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Ji Yoon. Ya, aku sudah merebut sesuatu yang sangat dijaga oleh Ji Yoon.

Malam itu aku melakukannya bersama Ji Yoon. Ciuman yang kumulai saat berada di pesta perpisahan malam itu, aku terus membuainya ke dalam permainanku hingga akhirnya ia mulai menikmati dan menerima bujukanku. Iblis dalam diriku benar-benar tak bisa kukendalikan hingga akhirnya hal itu terjadi.

Ya, aku adalah iblis yang memanfaatkan keluguan gadis itu.

“Aku takut, Chanyeol.”

“Tenanglah, hanya kita berdua yang ada di apartemen ini. Aku tak akan membiarkan seorang pun mengganggu kegiatan kita malam ini. Hanya kau dan aku…”

“Tapi…”

“Aku akan bertanggung jawab untuk kemungkinan terburuk yang terjadi, Ji Yoon.”


Deru napasnya.

Cengkraman tangannya pada bahuku.

Peluh yang membasahi setiap jengkal permukaan kulit kami berdua.

Tubuh yang menyatu dalam irama yang indah.

Kecupan-kecupan lembut tapi memabukkan.

Lenguhan yang terdengar merdu saat ia akhirnya mencapai-’nya’ dan menyebut namaku seolah menunjukkan betapa ia sangat puas atas perlakuanku padanya.

Itu adalah pengalaman terindah yang akan selalu tersimpan dalam ingatan jangka panjangku.

~~~

“Gadis bernama Lee Ji Yoon sudah keluar dari panti asuhan ini sejak 3 tahun yang lalu.”

“Apa ia tidak meninggalkan alamat barunya?”

“Tidak. Ia hanya mengatakan ia ingin pergi jauh untuk bekerja.”

Aku mencarinya.

Terus mencarinya seperti orang bodoh.

Aku tak mempedulikan apapun selain gadis itu.

Mencari setiap jejak yang ia tinggalkan sebisa mungkin tapi hasilnya nihil.

Ini sudah tiga tahun sejak aku meninggalkan Korea dan pergi ke Jepang untuk melanjutkan pendidikanku disana. Dan satu-satunya yang ingin kutemui saat ini adalah Ji Yoon, tapi aku tak tahu kemana ia melangkahkan kakinya. Ia keluar dari panti asuhan dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Aku juga tak bisa menghubunginya dan ia tak pernah memberiku kabar.

Padahal, aku kembali untuk menepati janjiku saat itu. Janji yang kubuat tiga tahun lalu sebelum aku pergi ke Jepang.

“Aku akan berangkat ke Jepang hari ini dan aku masih nekat untuk menyempatkan diri bertemu denganmu, hehe.”

“Chanyeol…”

“Aku akan kembali dan menemuimu lagi, dan saat itulah aku akan membawamu ke rumah untuk bertemu dengan orangtuaku.”

“Aku…”

“Berjanjilah untuk menungguku, Ji Yoon.”

~ flashback off ~

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Chanyeol.”

“Tidak apa-apa. Lagipula aku sangat berterimakasih kau mau meluangkan waktumu untukku.”

Bermodalkan nekat, aku menghubungi laki-laki bernama Kris dan mengajaknya bertemu di sebuah café dekat dengan kantor tempatku bekerja. Sepulang bekerja aku langsung datang ke tempat ini dan menunggunya sesuai dengan janji yang telah kami buat. Sudah tiga hari berlalu sejak insiden Kris menabrak mobil Jongdae hari itu.

“Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan masalah mobil Jongdae.”

“Eh, lalu apa yang ingin kau bicarakan?”

“Umm, aku ingin berteman denganmu, Kris.”

Hening.

Apa ia marah karena aku terdengar tidak sopan?

Atau ia bingung atas ucapanku yang tiba-tiba dan menganggapku idiot. Aku memang tipe seseorang yang tidak suka basa-basi jadi aku langsung saja pada pembahasan utama.

“Haha, kau seperti mengajak seorang bocah kecil untuk berteman.”

Ia hanya tertawa kecil lalu menyeruput coffee late yang tersedia di meja. Sementara bocah laki-laki itu sibuk memakan es krim-nya yang memang sejak tadi kupesan karena Kris berkata akan mengajak putranya.

“Hey, siapa namamu?”

Bocah berpipi chubby itu menolehkan pandangannya padaku dan entah kenapa ada perasaan aneh yang timbul saat mata kami saling bertatapan.

Caranya menatapku…
Sama sepertinya.

“Namaku, Lee Chan Soo.”

Lee Chan Soo?

Jadi Kris adalah orang Korea?

“Ah, Aku adalah keturunan China-Kanada sedangkan ibunya asli Korea jadi aku memutuskan untuk mengikuti darah ibunya saja agar lebih mudah ketika ia besar nanti.”

Pantas saja wajah Kris terlihat berbeda dengan orang Korea pada umumnya meskipun logat dan cara bicaranya sangat mirip seperti orang Korea.

“Lee Chan Soo, nama yang bagus.”

“Terimakasih.”

Senyumannya…
Juga mirip sepertinya.

“Tahun ini Chan Soo berumur 3 tahun dan ia baru saja masuk di sebuah Playgroup. Ia terlihat sangat senang saat hari pertama masuk. Anak-anak selalu saja antusias saat mendapatkan hal-hal baru.”

Senyuman di wajah Kris itu membuatku yakin betapa menyenangkannya menjadi seorang ayah. Betapa berharga hidupnya saat melihat perkembangan anaknya setiap hari. Aku hanya ikut tersenyum melihatnya.

Benar-benar berbeda denganku.

“Bagaimana denganmu, Chanyeol? Ceritakan padaku tentangmu agar kita bisa lebih akrab.”

Menceritakan tentangku padanya?

Aku berada jauh di bawahnya jika soal pengalaman hidup. Ia memiliki semua yang aku impikan tentang keluarga, sementara aku masih dalam tahap bermimpi untuk mewujudkannya.

Menyedihkan sekali kau, Chanyeol.

“Aku belum menikah jadi tidak ada yang menarik tentangku.”

“Begitu ya, lalu bagaimana dengan pacar? Pasti kau punya kan?”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Aku tidak tertarik untuk bermain-main dengan wanita lain.”

“Wanita lain? Jadi kau punya seseorang yang istimewa hingga membuatmu hanya bertahan untuknya dan mengabaikan yang lain?”

“Kurang lebih seperti itu.”

Tebakannya benar-benar sangat tepat dengan apa yang sedang kualami. Sudah setahun sejak aku mencari Ji Yoon dan tidak menemukannya hingga sekarang aku masih tetap bertahan pada perasaan itu.

“Melihatmu aku teringat akan pertemuanku dengan istriku.”

Apakah ia akan menceritakan kisah hidupnya dan membuatku semakin iri padanya?

Argh!
Ia benar-benar memiliki semuanya.

“Kami bertemu dan menikah tiga minggu kemudian.”

“Eh, hanya dalam waktu tiga minggu kemudian menikah?”

“Ya. Dalam tiga minggu itu aku sudah memberikan seluruh hidupku untuknya dan begitu pula sebaliknya, ia sudah memberikan seluruh hidupnya untukku.”

Baru bertemu tiga minggu lalu menikah?

Kurasa Kris cukup nekat dan gila.

“Dan aku tidak menyesal menikahinya karena ia benar-benar seorang wanita yang layak untuk dijadikan istri.”

“Appa, Chan Soo ingin ke toilet.”

Chan Soo yang sejak tadi sibuk memakan es krim tiba-tiba merengek pada Kris memohon untuk menemaninya pergi ke toilet. Perbincangan kami pun terpaksa terhenti sementara. Aku menyeruput coffee late-ku dan menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku merasa gugup, entah apa sebabnya.


“Maaf menganggu, tapi apa kau melihat seorang bocah kecil dan pria tinggi disini?”

Suara itu!
Suara yang ada dibalik punggungku.

Tidak salah lagi!

“Tuan, apa kau bersama–”

Wajah itu…
Wajah yang selama ini kucari di setiap tempat yang kudatangi.
Wajah yang sangat ingin kulihat.

Ia ada di depan mataku…
Tatapan yang masih sama seperti dulu…
Lee Ji Yoon.

Dunia terasa hening bagi kami berdua saat bertatapan satu sama lain. Kerinduan yang terkubur dalam-dalam seketika membuncah dan menimbulkan kembali denyut-denyut aneh seperti dulu.

Saling menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan sepatah kata pun hingga kami tak menyadari sudah berapa lama waktu yang terbuang karena kegiatan ini. Aku ingin berdiri lalu memeluknya tapi sesuatu di lubuk hatiku seolah memperingatkan bahwa aku tak boleh bertindak sembarangan.

“Ji–”


“Eomma.”

Mataku sontak membulat mendengar panggilan itu.

Eomma?
Chan Soo memanggilnya dengan sebutan eomma?

“Chan Soo sakit perut lagi, Eomma.”

Jangan katakan bahwa…

“Ah, akhirnya kau datang. Chanyeol, kenalkan ini istriku, Lee Ji Yoon.”

Istri?

Kris dan Ji Yoon?

Chan Soo?

Apa-apaan ini?

Apa maksudnya?

Tapi kenapa?

Inikah yang kudapatkan setelah mengurung hatiku selama ini hanya untuknya?

Inikah yang kudapatkan setelah mencarinya seperti orang bodoh?

Aku berharap ini hanya mimpi buruk yang biasa menimpaku tapi aku merasakan sakit, yang membuktikan bahwa ini bukanlah mimpi. Aku merasakan sakit yang teramat di suatu tempat yang disebut hati. Jauh lebih menyakitkan dibanding luka yang berdarah.

Ji Yoon,
Apa yang akan kau katakan padaku sekarang?

“Lama tidak bertemu, Ji Yoon.”

Senyum palsu yang kutujukan untuknya…
Bisakah ia melihat sesuatu dibalik senyuman palsuku?

Bisakah ia merasakan pahit dibalik senyuman manisku?

“Kau mengenal Ji Yoon?”

“Ya, kami teman sekelas saat SMA.”

Teman?
Omong kosong macam apa yang sudah aku katakan?

Aku bahkan sudah melakukan hal yang lebih padanya dari sekedar teman.
Jika Kris mengetahuinya mungkin ia akan menghajarku habis-habisan sekarang.

“Padahal aku ingin mengenalkanmu dengan istriku tapi ternyata kau sudah mengenalnya.”

“…”

“Ah, barusan boss-ku mengirim pesan dan ada urusan yang harus aku selesaikan. Maaf kami harus pulang lebih dulu karena Chan Soo juga mengeluh sakit perut tapi lain waktu pasti aku akan meluangkan lebih banyak waktu, Chanyeol.”

“Ya, tidak apa-apa.”

Tidak akan ada lain waktu!
Aku tidak mungkin mau menemui Kris lagi setelah semua fakta ini terungkap di depan mataku. Tapi tetap saja aku ingin menanyakan semua yang ada di kepalaku padanya. Aku ingin semuanya terjawab. Aku ingin mendengar semua penjelasan dari Ji Yoon. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat.

Aku harus mendinginkan kepala dan hatiku untuk waktu yang lama.

Ji Yoon,
Raut wajah itu…
Apakah kau menyembunyikan sesuatu?

~~~

“Kau hampir menghabiskan dua botol soju sendirian, yoda! Aku akan menghajarmu jika kau memuntahkannya di sofa merah maroon kesayanganku.”

“Ayolah kawan, kau terlihat sangat menyedihkan sekarang.”

“Jadi seperti inilah seorang Park Chanyeol saat sedang patah hati.”

“Sehun, tolong tuangkan lagi..”

“Sudah cukup, yoda!”

“Aku akan merasa tenang jika aku melupakan kenyataan.”

“Kau harus belajar untuk menerima kenyataan, Chanyeol. Kau masih ingat bagaimana saat Sehun memergoki kekasihnya selingkuh?”

“Ya, ia menghajar samsak tinju semalaman.”

“Itu lebih baik dibandingkan menghabiskan dua botol soju yang pada akhirnya hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”

“Jongdae, analaogimu benar-benar tak bermutu.”

Aku hanya duduk lesu setelah menghabiskan hampir dua botol soju. Sehun dan Jongdae bahkan memutuskan untuk ikut menginap di rumah Baekhyun. Mereka bilang untuk berjaga-jaga jika aku berniat melakukan hal gila karena terlalu depresi.

“Jadi, wanita yang diceritakan Paman Kim yang selalu memberinya makanan adalah Ji Yoon? Itu berarti Ji Yoon adalah tetangga Paman Kim.”

Aku menganggukkan kepalaku.

“Kalau begitu kenapa kau tidak datang ke rumah Ji Yoon saja, Chanyeol? tanyakan semuanya padanya.”

“Lalu Kris akan memukuli Chanyeol hingga babak belur karena tiba-tiba datang dan memaksa Ji Yoon menjawab semua pertanyaannya. Tolong berikan solusi yang benar, Kim Jongdae.”

“Aku sedikit tertarik dengan bocah bernama Chan Soo yang kau sebutkan, Chanyeol.”

Chan Soo?

“Mungkin saja ia adalah putramu, Chanyeol.”

Lelucon apalagi yang tengah Jongdae katakan hanya untuk membuatku terhibur?

Jika Chan Soo adalah putraku, mana mungkin Kris begitu menyayanginya dan Ji Yoon tidak mengatakan apapun selama empat tahun ini.

Hal seperti itu tidak mungkin terjadi.

Aku merebahkan tubuhku di sofa saat efek alkohol mulai menyerang saraf-sarafku dan membuat pandanganku perlahan kabur sebelum akhirnya aku terlelap.

Berharap semua mimpi buruk ini berakhir.

~~~

“Kali ini aku datang lebih dulu, Chanyeol.”

Sudah dua minggu sejak pertemuanku dengan Kris dan Ji Yoon malam itu. Kali ini aku bertemu lagi dengan Kris dan dialah yang memintaku untuk bertemu dengannya dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting. Meski sulit tapi tidak ada alasan bagiku untuk menolak karena aku juga punya banyak hal yang ingin kutanyakan tanpa membuatnya mencurigaiku.

“Jadi, hal penting apa yang ingin kau bicarakan, Kris?”

“Ini menyangkut tentang Ji Yoon.”

Seperti dugaanku.


“Aku ingin kau menjaga Ji Yoon dan Chan Soo.”

Keningku sontak berkerut mendengar ucapannya.

Apa maksudnya?

Kenapa ia tiba-tiba berkata seperti itu padaku?

“Apa maksudmu, Kris?”

“Umurku tidak akan lama, karena itulah kau harus menggantikanku dan menjaga mereka.”

“Tunggu! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan dan jangan seenaknya menyuruhku, Kris!”


‘BUGHH’

Kris menghantamkan pukulannya di pipi kiriku dan itu benar-benar sakit.

Apa yang sebenarnya ia pikirkan?

Ia tiba-tiba berbicara hal aneh lalu menghajarku.


“Jangan main-main denganku dan bicaralah yang jelas, Kris.”

“Aku akan bicara dan mengatakan semuanya jadi dengarkanlah dan jangan bertanya sebelum aku selesai!”

Mata tajam itu akhirnya memberikan aura yang membuatku terdiam.

“Aku memiliki masalah kesehatan di jantung dan itu sangat serius. Aku sudah mengunjungi beberapa dokter dan semua memvonis bahwa waktuku tidak akan lama lagi. Ji Yoon dan Chan Soo, aku tidak ingin meninggalkan mereka saat ajalku tiba karena itulah aku memintamu untuk menggantikanku sebagai kepala keluarga bagi mereka agar aku bisa beristirahat dengan tenang disana nantinya.”

Waktunya tidak lama?

Kris yang terlihat sehat ini memiliki penyakit serius seperti itu?

“Kenapa harus aku, Kris?”

Hening.

Untuk beberapa saat Kris hanya termenung sebelum akhirnya menatapku tajam.

“Karena kau adalah ayah biologis dari Chan Soo.”


Ayah?

Aku?

Apa ia sedang bercanda?

“Apa maksud–”

“Saat kau pergi ke Jepang Ji Yoon tengah mengandung Chan Soo. Ia ingin memberitahumu saat itu tapi melihatmu yang begitu semangat untuk mengejar cita-cita ia tidak jadi mengutarakan kebenarannya. Ia berusaha menanggung semuanya sendirian.”

“Tunggu! Jadi Chan Soo adalah…”

“Ya, ia adalah darah dagingmu.”

Aku seorang ayah?

Sejak dulu aku sudah menjadi seorang ayah?

Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi sekarang?

“Saat itu aku tengah mengunjungi restoran milik temanku dan disanalah aku bertemu Ji Yoon. Ia bekerja disana untuk membiayai kehidupannya dan anak dalam kandungannya. Ia tidak ingin kau mengetahui semua itu karena ia tidak ingin merepotkanmu.”

“Kau mengetahui semuanya, Kris?”

Ia menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.

“Lalu, kenapa kau mau menikahinya?”

“Karena Ji Yoon sama sepertiku. Kami tidak memiliki saudara dan hidup sendirian di dunia ini. Hati kecilku tidak tega membiarkannya bekerja keras dalam keadaan hamil besar seperti itu dan… aku tidak bisa menghasilkan keturunan jadi aku dengan senang hati menerima kehadiran Chan Soo dalam rahimnya dan menikahi Ji Yoon.”

Ia tersenyum.
Senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaan tak terbatas.
Kris tidak berbohong.
Itu adalah senyuman paling tulus yang pernah kulihat selain senyuman Ji Yoon.

“Kau pasti sangat marah padaku kan, Chanyeol?”

“Tidak. Aku justru marah pada diriku sendiri karena terlalu bodoh.”

Ya, aku terlalu bodoh.

Aku menganggap Ji Yoon mengkhianatiku dan seketika membenci Kris saat mengetahui bahwa mereka adalah suami istri. Aku langsung berprasangka buruk pada Ji Yoon, padahal akulah yang seharusnya paling mengerti perasaannya.

Saat itu aku tidak menyempatkan diri untuk mendengarkannya. Aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa pernah berpikir apakah yang aku lakukan pada Ji Yoon nantinya akan menyulitkannya. Aku bahkan sangat yakin bahwa apa yang kami lakukan malam itu tidak akan membuahkan hasil tapi kenyataannya takdir berkata lain hingga akhirnya Chan Soo terlahir di dunia ini dan aku tidak mengetahuinya.

Tidak menyadari bahwa ada darahku yang mengalir di tubuh Chan Soo.

Apa yang harus ku katakan pada Chan Soo?

Apa Ji Yoon akan menamparku?

Apa dunia ini akan memaafkan perbuatanku?

“Aku ingin kau bertanggung jawab atas perbuatan yang telah kau lakukan, Chanyeol. Karena itu tolong lindungi Ji Yoon dan Chan Soo saat aku tak lagi bisa melindungi mereka. Berjanjilah padaku sebagai seorang teman.”

Kris, apa kau tak ingin menghajarku lagi?

Bukankah aku terlihat seperti pria brengsek.

“Aku sudah puas setelah melayangkan pukulanku tadi jadi berhentilah memasang raut wajah seperti itu. Kau harus bisa menepati janjimu, oke?”

“Kau benar.”

“Aku tau kau adalah pria sejati, Chanyeol.”

Kris,
Seseorang yang kuanggap beruntung padahal ia mengalami semua kesulitan ini. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku benar-benar nol jika dibandingkan dengannya. Jika waktu itu aku tidak bertemu dengannya maka aku tidak akan memiliki kesempatan melihat putraku yang telah tumbuh besar. Jika ia tidak menolong Ji Yoon dengan ketulusannya maka aku mungkin akan merasa sangat bersalah dan tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena membiarkan Ji Yoon menanggung semua beban sendirian.

Kris, terimakasih.
Kau adalah perantara yang diberikan sang pencipta untukku agar mampu memperbaiki kesalahanku.

~~~

(one year later…)

“…yeol”

“Chanyeol…”

“Ji Yoon mencarimu kemana-mana dan kau malah tidur di kedai, yoda!”

Teriakan Baekhyun sukses membuat indera pendengaranku meradang. Suara tingginya seketika mencapai saraf-saraf di otakku dan membuatku mengerjapkan mataku perlahan. Dan tepat saat mataku terbuka lebar, aku melihat Ji Yoon tengah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.

“Eh, apa yang kau lakukan disini, Ji Yoon?”

“Kau membuatnya khawatir dan ternyata benar. Kau minum soju di kedai ini padahal kau sedang sakit, yoda.”

“Ah, itu.. aku.. aku hanya minum sedikit kok.”

“Aku baru saja membeli beberapa obat untukmu, Chanyeol.”

Ji Yoon menyodorkan plastik yang berisi obat-obatan untukku. Ya, akhir-akhir ini aku sering mengalami demam dan sakit kepala karena pekerjaan di kantor yang semakin banyak. Sesuatu yang tidak bisa dihindari bagi seorang pekerja kantor sepertiku.

“Kau juga belum pulih jadi cepat pulang dan beristirahatlah, yoda.”

Aku berdiri dan menarik kedua tangan Ji Yoon lalu memasukkan kedua tangannya dalam saku jaketku. Ia sedikit terkejut atas ulahku yang tiba-tiba sementara Baekhyun menjitak kepalaku dengan santainya saat melihat ulahku.

“Kau jangan melakukan hal-hal aneh di tempat umum, yoda.”

“Eh? Aku hanya ingin melindungi Ji Yoon dari udara dingin, Baek.”

Ji Yoon hanya terkekeh kecil dan menggenggam tanganku erat didalam saku yang tak dapat dilihat oleh siapapun, hanya bisa dirasakan olehku dan Ji Yoon. Pipinya masih merona seperti dulu setiap kali kontak fisik antara kami terjadi.

Ia sama sekali tak berubah.

“Dimana Chan Soo?”

“Dia bersama Sehun di rumah.”

“Sehun?”

“Ah, tadi aku menelpon Baekhyun dan Sehun untuk menanyakan keberadaanmu karena ponselmu tidak aktif dan mereka malah berniat membantuku mencarimu, jadi aku menitipkan Chan Soo pada Sehun karena malam sudah mulai larut.”

“Kau membuat istrimu khawatir, yoda.”

“Hehe, aku benar-benar lelah sampai tidak sadar jika aku terlelap disini. Maaf sudah membuatmu khawatir, Ji Yoon.”

~~~

“Appa…”

Tubuh mungil itu berlari ke arahku dan memelukku yang sudah bersiap menyambutnya dengan posisi berjongkok. Tubuh kecil yang seketika menyalurkan perasaan hangat dan menenangkan untukku. Panggilan sederhana yang membuatku merasa senang hanya dengan mendengarnya.

“Appa, bacakan dongeng untuk Chan Soo.”

“Chan Soo, biarkan Appa beristirahat ya. Hari ini Eomma yang akan membacakan dongeng untuk Chan Soo.”

“Tidak apa-apa, Ji Yoon. Biar aku saja yang melakukannya.”

Aku menggendong tubuh mungil Chan Soo dan mengantarnya ke kamar tidur lalu mengambil buku yang ada di atas meja dan membacakan beberapa cerita. Tidak perlu waktu yang lama hingga akhirnya kedua hazel kecil itu terpejam dengan pulasnya. Kutarik selimut hingga menutupi lehernya dan menyalakan penghangat ruangan karena cuaca yang memang sedang dingin.

“Mimpi yang indah, putra kecilku.”

Mengusap lembut surai hitamnya setiap kali ia terlelap adalah hal paling membahagiakan bagiku. Aku ingin terus seperti ini. Impian yang sejak dulu aku idam-idamkan akhirnya ada di depan mataku.

Bekerja hingga aku kelelahan hanya untuk istri dan anakku. Merawat malaikat kecilku dan melihat perkembangannya setiap hari. Tinggal di dalam rumah yang terasa sangat hangat karena kehadiran mereka berdua. Tak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan semua ini.

“Chan Soo sudah tidur?”

Aku menganggukkan kepalaku.

“Appa…”

“Ia mengigau?”

“Appa… Chan Soo… ingin punya adik…”

Ia menggumam dalam tidurnya lalu bergerak dan memeluk guling yang ada di samping kanannya. Aku tersenyum kecil melihat tingkah Chan Soo yang terlihat menggemaskan meskipun sedang tertidur. Sejurus kemudian aku menatap Ji Yoon dan manik mata itu membalasku seolah berkata ‘kenapa?’ dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah bisikan lembut.

“Ayo kita wujudkan keinginan Chan Soo.”


~ END ~

Harap tinggalkan komentar untuk menghargai karya author karena komentar kalian adalah penyemangat bagi si penulis and thanks for reading my fiction ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner