CALL
ME DADDY
©2015 PRESENT BY JUN PLANET
Cover by “Cover Fanfiction – Lidya
Kim”
Author : Riska Junaini
Length : One shoot
Rating : PG 17+
Genre : Hurt/Comfort
Cast :
Park Chanyeol & Lee Ji Yoon (OC)
PLAGIARISM?
THAT’S NO NO!
DON’T
READ IF YOU DON’T LIKE
~~~
“Kau kabur dari rumah lagi, Chanyeol?”
Aku menganggukkan kepalaku malas sambil tetap fokus
menatap layar televisi yang ada di ruang tamu rumah Baekhyun. Sebungkus honey
butter chips ada di genggaman tangan kiriku sementara tangan kananku sibuk
mengorek-ngorek isinya yang hampir habis dan menyuapkannya ke mulutku,
memanjakan indera pengecap yang sudah lama tidak merasakan surga dunia yang
disebut manis.
“Bulan lalu kau kabur ke rumah Sehun dan sekarang kau
bersembunyi di rumahku. Aku tidak ingin ayahmu datang dan menyemburku seperti
yang Sehun alami karena membantumu bersembunyi, jadi cepatlah pulang,
Chanyeol.”
Aku merebahkan tubuhku di sofa empuk berwarna merah
maroon milik Baekhyun, mencari posisi yang nyaman untuk tidur hingga beberapa
detik kemudian laki-laki itu melempar bantal sofa ke wajahku, marah karena aku
mengabaikannya.
“Hanya malam ini saja, Baek. Besok aku akan menginap di
rumah Sehun jadi kau tidak akan disembur ayahku.”
“Daripada berpindah-pindah tempat, lebih baik kau
kembali ke rumahmu, yoda! Kau seperti gelandangan jika seperti ini terus.”
Gelandangan?
Mungkin benar apa yang Baekhyun katakan. Aku seperti
gelandangan yang tak tahu harus berteduh dimana dan tak punya tujuan. Malah
mungkin lebih rendah dari gelandangan, karena mereka masih punya tujuan yang
jelas dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang mengelilingi kota mengharap belas
kasih orang lain demi kelangsungan hidup keluarganya. Mereka tinggal bersama
keluarganya dengan tenteram meskipun di tempat yang tak layak disebut sebagai
rumah. Sementara aku? Aku tidak tahu entah apa yang aku lakukan selain menandatangani
tumpukan berkas-berkas di kantor hingga jemariku terasa kaku.
Untuk apa aku melakukannya?
Untuk siapa aku melakukannya?
Untuk ayahku? Untuk ibuku?
Tidak! Mereka bahkan tidak peduli!
Yang mereka tahu hanyalah aku harus bekerja agar
perusahaan tetap berjalan.
Jadi, aku ini apa?
Robot?
Bahkan jika ayahku mencariku, alasannya hanya satu, karena
ia tidak ingin dicap sebagai direktur yang buruk karena membiarkan anaknya terus-terusan
absen di kantor.
Cih!
Reputasinya lebih penting dibandingkan perasaan anaknya
sendiri.
“Mau sampai kapan kau terus kabur saat ayahmu ingin
mengenalkanmu dengan seorang wanita? Kau ingin lajang seumur hidup? Memangnya
kau tidak ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ayah? Merasakan
bagaimana suka dan duka saat kau bekerja demi istri dan anakmu, apa kau tidak
ingin merasakan hal itu, Chanyeol?”
Tentu saja aku ingin merasakannya, Baekhyun bodoh!
Aku penasaran bagaimana rasanya bekerja keras demi
orang-orang yang kucintai. Bagaimana rasanya setiap pagi dipasangkan dasi oleh
istriku lalu mengecup keningnya. Bagaimana rasanya saat sepulang kerja, ada
malaikat kecil yang menyambutku di depan pintu dengan senyuman manisnya.
Dan…
Bagaimana rasanya dipanggil ‘ayah’.
Aku ingin merasakannya, tapi bukan berarti aku harus
menuruti kemauan ayahku dan menikah dengan gadis pilihannya. Itu tidak bisa
menjamin masa depanku karena keyakinan utamaku dalam memandang arti keluarga
adalah rasa saling mengasihi dan melindungi satu sama lain, bukan sekedar
formalitas.
Jika rumah adalah tempatmu berteduh dari hujan dan
salju, maka keluarga adalah api yang akan menghangatkanmu dari dinginnya. Dan jika
rumah adalah tempatmu berlindung dari teriknya mentari, maka keluarga adalah
air yang akan menyejukkan pikiran dan batinmu.
Aku tidak ingin siapapun merusak impianku tentang keluarga
yang kuinginkan. Karena itulah, tidak peduli meskipun mereka adalah orangtuaku
aku tetap akan menentangnya jika menurutku mereka hanya akan merusak impianku.
“Atau kau masih berharap bisa menemukan ‘dia’?”
Hening.
Aku selalu skakmat jika teman-temanku sudah mengajukan
pertanyaan itu. Meski aku menjawabnya tidak mereka tetap saja tahu bahwa aku
berbohong. Dan saat aku diam tak menjawab, mereka mengambil kesimpulan bahwa
diam sama dengan mengiyakan. Tapi itulah kenyataannya…
Aku berharap bisa menemukannya…
Dan menepati janjiku waktu itu.
~~~
“Menginap di rumah Baekhyun dan Sehun, berangkat kerja
dengan menumpang di mobilku padahal kau anak direktur. Kasihan sekali kau,
Chanyeol.”
“Berisik kau, Jongdae.”
Aku mengurut keningku pelan sembari memandangi jalanan
yang memang sedang ramai karena ini adalah waktunya orang-orang berangkat bekerja.
Tidur di sofa Baekhyun ternyata tidak senyaman tidur di sofa Sehun, buktinya
saat bangun seluruh tubuhku terasa nyeri dan kepalaku berdenyut. Mungkin karena
ia tidak ikhlas membiarkanku menginap? Entahlah, yang jelas kepalaku sakit
sekarang ditambah fakta bahwa aku terpaksa harus memohon pada makhluk bernama
Jongdae agar bisa menuju kantor karena kami bekerja di tempat yang sama.
Ocehannya yang terus mengejekku benar-benar membuat
kepala terasa akan meledak. Ia adalah sahabat yang paling sering membuatku
jengkel tapi ia juga bisa diandalkan di saat-saat tertentu, contohnya seperti
sekarang.
“Bagaimana jika aku yang membantumu mencari pasangan
hidup? Kau mau, Chanyeol?”
“Tidak perlu. Bisa-bisa kau mengenalkan seorang ahjumma
tua padaku.”
“Haha. Kau memang yang paling pintar membaca pikiranku,
Chanyeol.”
“Itu karena pikiranmu adalah yang paling tidak beres.”
“Hey, aku masih lebih baik jika dibandingkan dengan
pikiranmu yang kotor.”
“Sudah! Fokus saja menyetir, unta sialan!”
Umpatku kesal. Unta adalah sebutan untuk Jongdae sejak
kecil. Begitu pula dengan sebutan yoda yang Baekhyun umpatkan padaku kemarin,
itu adalah panggilan dari mereka –Baekhyun, Jongdae, Sehun- untukku sejak kecil
dan menjadi panggilan hingga sekarang meski tidak sesering dulu.
‘BAMM’
Benturan yang tidak terlalu keras dari arah belakang
sukses membuatku dan Jongdae terkejut dan spontan menepikan mobil ke pinggir
jalan. Aku menoleh ke arah belakang dan melihat mobil berwarna putih itu juga
menepi. Sang pengemudi yang seorang laki-laki bersama dengan bocah laki-laki
keluar dari dalam mobil bersamaan dengan kami dan menghampiri kami.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja karena
sedang terburu-buru ingin mengantar putraku.”
Ucapnya dengan irama tenang sambil memperhatikan bagian
belakang mobil Jongdae yang terlihat sedikit reot. Laki-laki itu berjongkok
untuk melihat kerusakannya lebih jelas tanpa melepas genggaman tangan anaknya.
Ia sepertinya lebih tua dariku beberapa tahun. Entah kenapa tiba-tiba aku
merasa iri hanya dengan melihat adegan itu.
Kehidupan laki-laki ini pasti menyenangkan.
“Tidak apa-apa, ini hanya reot sedikit. Jika dibawa ke
bengkel pasti akan terlihat seperti baru lagi. Kau tidak perlu ganti rugi
karena temanku yang bernama Chanyeol ini adalah anak seorang direktur jadi aku
bisa mengandalkannya. Lagipula, kau harus mengantar si pangeran kecil ini sebelum
dia terlambat.”
Entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi raut wajah
laki-laki itu berubah saat Jongdae menyebut namaku, terlebih lagi saat kami
saling bertemu pandang, mungkin ia tidak yakin dengan ucapan Jongdae soal aku
adalah anak seorang direktur karena penampilanku saat ini memang tidak
mencerminkan seorang keturunan berdarah biru. Rambut yang kusisir seadanya
karena terlambat bangun dan pakaian yang terlihat kusut karena aku melipatnya
asal sebelum kabur ke rumah Baekhyun.
Aku memperhatikan wajah laki-laki itu. Laki-laki itu
memiliki alis tebal yang membuat tatapannya terlihat tajam dan sedikit
menakutkan tapi nada bicaranya benar-benar santun dan berwibawa. Jika
dilihat-lihat ia cukup pantas menjadi seorang model dengan visualnya yang enak
dilihat dan postur tubuhnya yang tinggi.
Jika aku sepertinya apa aku bisa seberuntung dia?
Otakku langsung saja menyimpulkan bahwa laki-laki ini
memiliki kehidupan yang jauh lebih menyenangkan jika dibandingkan denganku. Ya,
kecemburuan yang bergemuruh di dadaku selalu muncul setiap kali aku melihat
adegan ayah dan anak yang sedang bersama.
Aku…
Sangat ingin menjadi seorang ayah.
“Sekali lagi maaf aku sudah mengacaukan kegiatan kalian
berdua. Jika ada ganti rugi yang harus kubayar silahkan hubungi aku di nomor ini.”
Laki-laki itu mengetikkan nama dan nomor ponselnya dan
menyimpannya di ponselku karena kebetulan Jongdae lupa membawa ponselnya. Ia
tersenyum ramah sebelum kembali masuk ke dalam mobil putihnya diikuti dengan
sang anak yang terlihat sangat menggemaskan. Ia bahkan membungkukkan tubuhnya
saat sang ayah meminta maaf. Laki-laki itu pasti sangat tekun mengajari bocah
itu tata krama.
‘Kris’
Mungkin saja aku bisa berkonsultasi dengannya suatu
hari dengan bermodalkan sikap nekatku. Sekedar bertanya bagaimana ia menjalani
kehidupannya sebagai seorang ayah – mungkin.
Sial!
Aku benar-benar iri.
Dan juga…
Bocah itu,
Terlihat mirip dengan seseorang.
~~~
Waktu makan siang sudah tiba. Para pekerja yang sedari
pagi sibuk dengan komputer dan tumpukan-tumpukan dokumennya kini sejenak
membebaskan diri dari rutinitas dan mengisi energi untuk pertempuran
selanjutnya yang disebut lembur. Bekerja di kantor tidaklah semudah yang
orang-orang pikirkan walau faktanya gaji yang diterima memang besar tapi tetap
saja rasanya bekerja di kantor tidak seenak seperti yang kubayangkan saat masih
SMA.
Seperti biasa, aku menghampiri meja salah satu staff
yang memang satu ruangan denganku yang sudah seperti ayah kedua bagiku. Aku
hanya duduk dan memasang wajah termanisku agar ia mau sedikit berbagi
makanannya untukku.
“Dasar bocah tengik!”
“Ayolah Paman, apa kau tidak kasihan padaku? Aku belum
makan apapun sejak pagi.”
“Karena itu kau harus segera menikah agar istrimu
membuatkanmu sarapan dan bekal.”
Aku hanya menggumam malas lalu mengambil kimbab yang
ada dalam kotak makan Paman Kim dan sejurus kemudian ia mengetuk kepalaku
menggunakan sendok. Aku mengerang pelan sambil mengusap pucuk kepalaku.
“Ini adalah pemberian dari tetanggaku. Ia selalu
memasak dalam porsi banyak dan sering membaginya padaku bahkan hampir setiap
hari. Ia wanita yang sangat pintar memasak.”
“Paman bilang ia wanita? Apa ia cantik? Aku sangat suka
wanita yang jago masak.”
‘TUK’
Paman Kim lagi-lagi mengetuk pucuk kepalaku menggunakan
sendok lalu mengambil dua kimbab dari dalam kotak bekal dan melesakkan dua
kimbab itu ke mulutku dengan kejam.
“Ia sudah menikah, bocah tengik!”
Aku mengunyah kimbab yang memenuhi mulutku dengan susah
payah. Dan setiap kali rasa-rasa makanan itu mengecap di lidahku, aku merasakan
bayang-bayangnya melintasi pikiranku. Bayangan seorang gadis yang sedang
tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku, seperti sambutan yang diberikan
oleh hamparan mawar putih.
Hamparan mawar putih yang lugu dan bersih dan sejurus
kemudian berubah menjadi hamparan mawar hitam yang membuat memoriku tentangnya
menguar seketika.
Yang terputar di otakku sekarang hanyalah ingatan akan
dosa yang telah ku lakukan padanya, pada mawar putih itu.
“…yeol”
“Chanyeol…”
“Eh? Iya Paman?”
Aku segera tersadar dari ingatan masa lalu dan segera
menghapus dinding semu yang membelenggu perasaanku untuk tetap tinggal disana,
tapi usahaku hanyalah sia-sia. Dinding semu itu tetap tak bisa kuhapus dan
tetap membelenggu perasaanku hingga sekarang di sebuah ruangan tak berpintu yang
disebut masa lalu.
Apa yang ku lakukan di masa lalu saat bersamanya adalah
hal yang paling buruk tapi juga yang terbaik. Seperti sebuah baterai. Ada kutub
negatif dan ada kutub positif. Tidak akan berfungsi jika hanya memiliki salah
satu kutub.
“Kau baik-baik saja? Kau terlihat kosong. Apa kau
memikirkan sesuatu?”
Ya.
Aku memikirkan sesuatu tapi aku menggelengkan kepalaku
pada Paman Kim sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan pengap itu
untuk mencari sedikit udara segar.
Hitam dan putih.
Ia adalah putih, sesuatu yang suci, bersih, dan lugu.
Dan aku adalah hitam, sesuatu yang kotor, kelam, dan
gelap.
Aku adalah hitam yang menyipratkan bercak hitam pada
sang putih. Aku adalah kotor yang menodai bersihnya sang putih. Dan aku adalah
hitam yang menelan sang putih dalam kelamku.
Lenguhan.
Rintihan.
Saat ia menyebut namaku.
Semua masih terekam jelas meski sudah berlalu 4 tahun
yang lalu.
~
flashback ~
Kesan pertamaku saat masuk di SMA Yosen adalah
individualis. Tidak ada satu orangpun yang menyapaku apalagi mengajakku untuk
menjadi teman sebangku. Aku hanya mematung di depan pintu kelas sembari mencari
kursi kosong untuk diduduki dan akhirnya kursi di bagian paling belakang adalah
tempat yang tersisa karena mereka semua sangat bersemangat untuk mendapatkan
bangku terdepan layaknya bocah sekolah dasar. Jika bukan karena paksaan dari
ayahku, aku lebih memilih untuk masuk ke SMA yang sama seperti Baekhyun,
Jongdae, dan Chen.
SMA Yosen adalah SMA yang terkenal karena hanya
menerima murid-murid dengan prestasi akademik yang baik. Itu bukanlah hal yang
sulit untuk orang-orang yang cukup jenius sepertiku dan orang-orang yang ada di
kelas ini. Sifat sombong memang identik dengan jenius tapi tidak kusangka
mereka separah ini hingga tak ada satupun yang menyapaku. Suasana kelas bahkan
sepi karena masing-masing dari mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Aku memperhatikan orang-orang individualis itu dari balik lensa mataku sebelum
akhirnya sosok seorang gadis tiba-tiba muncul dan sukses mengejutkanku.
“Apa kursi di sebelahmu masih kosong?”
“Ya.”
“Boleh aku duduk disini.”
Aku menatap seisi kelas. Hanya tersisa dua kursi
kosong. Kursi di sampingku dan kursi disamping Jiyeon –teman sekelasku saat
SMP. Kenapa dia tidak duduk disamping Jiyeon saja?
“Dia bilang kursi disampingnya untuk seseorang.”
Gadis itu menjawab seolah-olah ia bisa membaca
pikiranku. Kalau begitu apa boleh buat, tidak mungkin aku berkata tidak saat
yang tersisa hanyalah kursi di sampingku. Lagipula, kelihatannya ia berbeda
dengan orang-orang individualis itu.
“Namaku Lee Ji Yoon.”
Kenapa dia tiba-tiba memperkenalkan diri sambil
tersenyum seperti itu?
Dan kenapa pula reaksiku malah seperti orang linglung?
“Aku, Park Chanyeol.”
Rasanya sama seperti saat cahaya mentari menyapamu
ketika kau baru dilahirkan ke dunia ini.
Hangat.
~~~
“Wah, ternyata kau bisa main gitar, Chanyeol?”
“Aku hanya belajar secara otodidak.”
“Tapi itu luar biasa! aku pernah mencoba bermain gitar
tapi tidak bisa. Sepertinya aku memang payah jika soal musik.”
“Mau kuajari?”
Satu.
Hal pertama yang membuat obsesiku padanya semakin
bertumbuh.
“Letakkan jari manis disini, jari tengah disini, dan
telunjuk disini.”
‘jreg---‘
“Eh, bunyinya tidak enak.”
Aku hanya tertawa kecil saat mendengar petikan gitarnya
yang tidak sesuai dengan nada yang seharusnya. Sepertinya ia memang sedikit
payah jika soal musik, karena ia selalu kelihatan panik jika Han seonsaengnim
–guru musik SMA Yosen- memasuki kelas kami, tapi untuk pelajaran yang lain Ji
Yoon memang jenius, bahkan lebih baik dariku.
“Kau harus menekan kuncinya dengan kuat seperti ini.”
Halus.
Seperti ada sengatan listrik yang menyambar kulitku
saat indera peraba kami saling bersentuhan. Bukan sengatan yang membuatku
trauma, tapi justru membuatku ingin merasakannya lagi. Menimbulkan rasa candu
yang sulit dibendung.
“Chanyeol.”
Ia menatapku. Secepat kilat aku melepaskan tanganku
darinya dan malah menjadi salah tingkah karena ia masih saja menatapku. Tatapan
yang penuh keluguan.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyentuh–“
“Tanganmu besar sekali, Chanyeol. Jika dilihat-lihat
jari-jariku terlalu kecil jadi sulit untuk berpindah dari kunci pertama ke
kunci kedua.”
Dua.
Alasan kenapa aku semakin tertarik padanya hingga
akhirnya berubah menjadi obsesi.
Ia lugu.
Ia menarik.
Dia tidak menyadarinya.
Menyadari perasaanku yang mulai tumbuh.
“Aku
dibesarkan di panti asuhan sejak kecil. Aku bahkan tidak tau siapa orangtuaku. Sejak
kecil aku juga selalu dijauhi teman-teman yang lain karena guru-guru dikelas
selalu memujiku. Mereka bilang aku pencari perhatian. Tapi Chanyeol
memperlakukanku dengan sangat baik, karena itulah aku sangat senang bisa
berteman denganmu, Chanyeol.” –Lee Ji Yoon-
Ia adalah mawar putih yang tumbuh di tanah kering.
Terlihat tidak mungkin tapi ia bisa melalui semuanya
dan terus hidup.
Menjadi mawar putih yang indah dan bersih.
~~~
Sudah tiga tahun semenjak pertemuanku dengan Ji Yoon di
SMA Yosen hingga akhirnya malam ini tiba. Pesta perpisahan yang diadakan Jiyeon
bagi seluruh murid SMA Yosen tahun ketiga. Ji Yoon, gadis yang selalu memenuhi
dunia fantasiku itu hanya duduk diam sambil menggenggam gelas berisi soju yang
dituangkan oleh Jiyeon untuknya. Aku hanya tertawa kecil melihat kekonyolan
yang sedang Jiyeon lakukan. Memberikan soju pada Ji Yoon sama saja seperti memberikan
kopi pada balita.
“Aku tidak minum soju, Jiyeon.”
“Kau sudah 19 tahun kan? Kau harus mencobanya.”
“Tapi..”
“Sedikit saja.”
‘UHUK!’
“Rasanya aneh!”
Kurapatkan tubuhku pada Ji Yoon yang sedang menahan
rasa mual karena tidak pernah meminum soju sebelumnya. Dan tepat saat aku
berada di dekatnya ia meremas kuat tanganku dan memuntahkan kembali minuman
yang sepertinya sangat memuakkan baginya.
Memuntahkannya tepat di bajuku.
“Chanyeol… maaf.”
Ia menundukkan kepalanya dan terlihat takut. Ini adalah
pertama kalinya aku melihat Ji Yoon seperti ini. Apa ia ketakutan? Awalnya Ji
Yoon memang tidak ingin ikut dalam acara ini tapi aku terus membujuknya dan
mengatakan bahwa aku akan melindunginya dari siapapun jika nanti ada yang
mengganggunya tapi aku justru membiarkan Jiyeon melakukan hal itu padanya,
entah kenapa aku juga ingin melihat Ji Yoon yang polos merasakan hal-hal itu.
Menyenangkan.
“Tidak apa-apa, aku akan membersihkannya di toilet.”
~~~
Pandanganku tertuju pada sosok mungil yang berdiri sembari
menyodorkan tisu padaku. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan terlihat merah,
mungkin karena efek soju tadi.
“Maaf aku sudah mengotori pakaianmu.”
Ia melangkah dan berdiri tepat di hadapanku lalu
menyeka bagian yang basah di pakaianku. Entah kenapa aku hanya diam. Menikmati
waktu yang indah saat ia berada sangat dekat denganku seperti sekarang.
Ji Yoon,
Tinggi badannya hanya sebatas dadaku.
Ia sangat pas untuk kudekap.
“Kau takut?”
Dengan seenaknya kedua tanganku menangkup wajahnya saat
rasa takut itu semakin tergambar jelas. Bola mata yang membuat pandanganku
terpaku pada tiap-tiap pahatan indah di wajahnya. Denyut-denyut aneh yang
semakin cepat saat jari-jariku mengusap lembut pipinya hingga menimbulkan rona
merah yang membuatku semakin menginginkannya.
Aku adalah laki-laki.
Laki-laki mana yang tidak menginginkan hal seperti ini.
Laki-laki mana yang tidak menginginkan fantasinya
menjadi nyata.
Dress yang memperlihatkan kulit bahunya yang bersih
tanpa luka sedikitpun dan mata yang bening seperti kristal. Bibir merah jambu
yang membuatku penasaran akan rasanya. Maniskah?
Pipinya yang sangat sensitif merona dengan mudahnya
hanya dengan usapan ibu jariku. Bagaimana dengan bagian yang lainnya? Aku ingin
tahu.
‘Chu’
Kecupan lembut yang tak bisa kubendung lagi setelah
tiga tahun menahan semua perasaanku. Kecupan lembut yang menyalurkan
keinginanku akan dirinya. Kecupan lembut yang kudaratkan pada bibirnya yang
membuat darahku memanas. Memanas hingga kecupan itu perlahan berubah menjadi
lumatan lembut dan penuh penekanan.
Tak ada yang kudengar selain deru napasnya.
Ia menutup matanya tapi tak membalas ciumanku.
Ji Yoon,
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya untukku tapi…
Ia tidak menolak dengan apa yang kulakukan padanya
sekarang.
“Aku menginginkanmu, Ji Yoon…”
~~~
“Ternyata kau berani juga ya, Chanyeol.”
Diam.
“Ceritakan padaku bagaimana pengalaman pertamamu saat
melakukannya?”
Kuatur napasku sebisa mungkin.
“Apa kau menggunakan proteksi, Chanyeol?”
“Tidak, aku tidak sempat membelinya tapi ia mengatakan
padaku bahwa ia sedang dalam masa tidak subur jadi sepertinya semua akan
aman-aman saja.”
“Yang lebih penting, apa kau yakin ia tidak ‘positif’?
Jika itu terjadi aku sangat kasihan padanya karena belum tentu kau akan
bertanggung jawab.”
“Tentu saja aku akan bertanggung jawab! Aku sudah
berjanji padanya jika hal itu terjadi aku siap bertanggung jawab atas apa yang
telah kulakukan padanya. Seorang laki-laki tidak akan mengingkari janjinya!”
Ucapku meyakinkan Baekhyun, Sehun, dan Jongdae setelah
mereka meremehkanku seperti itu. Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku
dan Ji Yoon. Ya, aku sudah merebut sesuatu yang sangat dijaga oleh Ji Yoon.
Malam itu aku melakukannya bersama Ji Yoon. Ciuman yang
kumulai saat berada di pesta perpisahan malam itu, aku terus membuainya ke
dalam permainanku hingga akhirnya ia mulai menikmati dan menerima bujukanku.
Iblis dalam diriku benar-benar tak bisa kukendalikan hingga akhirnya hal itu
terjadi.
Ya, aku adalah iblis yang memanfaatkan keluguan gadis
itu.
“Aku
takut, Chanyeol.”
“Tenanglah,
hanya kita berdua yang ada di apartemen ini. Aku tak akan membiarkan seorang
pun mengganggu kegiatan kita malam ini. Hanya kau dan aku…”
“Tapi…”
“Aku
akan bertanggung jawab untuk kemungkinan terburuk yang terjadi, Ji Yoon.”
Deru napasnya.
Cengkraman tangannya pada bahuku.
Peluh yang membasahi setiap jengkal permukaan kulit
kami berdua.
Tubuh yang menyatu dalam irama yang indah.
Kecupan-kecupan lembut tapi memabukkan.
Lenguhan yang terdengar merdu saat ia akhirnya
mencapai-’nya’ dan menyebut namaku seolah menunjukkan betapa ia sangat puas
atas perlakuanku padanya.
Itu adalah pengalaman terindah yang akan selalu
tersimpan dalam ingatan jangka panjangku.
~~~
“Gadis bernama Lee Ji Yoon sudah keluar dari panti
asuhan ini sejak 3 tahun yang lalu.”
“Apa ia tidak meninggalkan alamat barunya?”
“Tidak. Ia hanya mengatakan ia ingin pergi jauh untuk
bekerja.”
Aku mencarinya.
Terus mencarinya seperti orang bodoh.
Aku tak mempedulikan apapun selain gadis itu.
Mencari setiap jejak yang ia tinggalkan sebisa mungkin
tapi hasilnya nihil.
Ini sudah tiga tahun sejak aku meninggalkan Korea dan
pergi ke Jepang untuk melanjutkan pendidikanku disana. Dan satu-satunya yang
ingin kutemui saat ini adalah Ji Yoon, tapi aku tak tahu kemana ia melangkahkan
kakinya. Ia keluar dari panti asuhan dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Aku
juga tak bisa menghubunginya dan ia tak pernah memberiku kabar.
Padahal, aku kembali untuk menepati janjiku saat itu.
Janji yang kubuat tiga tahun lalu sebelum aku pergi ke Jepang.
“Aku
akan berangkat ke Jepang hari ini dan aku masih nekat untuk menyempatkan diri
bertemu denganmu, hehe.”
“Chanyeol…”
“Aku
akan kembali dan menemuimu lagi, dan saat itulah aku akan membawamu ke rumah
untuk bertemu dengan orangtuaku.”
“Aku…”
“Berjanjilah
untuk menungguku, Ji Yoon.”
~
flashback off ~
“Maaf sudah membuatmu menunggu, Chanyeol.”
“Tidak apa-apa. Lagipula aku sangat berterimakasih kau
mau meluangkan waktumu untukku.”
Bermodalkan nekat, aku menghubungi laki-laki bernama
Kris dan mengajaknya bertemu di sebuah café dekat dengan kantor tempatku
bekerja. Sepulang bekerja aku langsung datang ke tempat ini dan menunggunya
sesuai dengan janji yang telah kami buat. Sudah tiga hari berlalu sejak insiden
Kris menabrak mobil Jongdae hari itu.
“Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan masalah mobil
Jongdae.”
“Eh, lalu apa yang ingin kau bicarakan?”
“Umm, aku ingin berteman denganmu, Kris.”
Hening.
Apa ia marah karena aku terdengar tidak sopan?
Atau ia bingung atas ucapanku yang tiba-tiba dan
menganggapku idiot. Aku memang tipe seseorang yang tidak suka basa-basi jadi
aku langsung saja pada pembahasan utama.
“Haha, kau seperti mengajak seorang bocah kecil untuk
berteman.”
Ia hanya tertawa kecil lalu menyeruput coffee late yang
tersedia di meja. Sementara bocah laki-laki itu sibuk memakan es krim-nya yang
memang sejak tadi kupesan karena Kris berkata akan mengajak putranya.
“Hey, siapa namamu?”
Bocah berpipi chubby itu menolehkan pandangannya padaku
dan entah kenapa ada perasaan aneh yang timbul saat mata kami saling
bertatapan.
Caranya menatapku…
Sama sepertinya.
“Namaku, Lee Chan Soo.”
Lee Chan Soo?
Jadi Kris adalah orang Korea?
“Ah, Aku adalah keturunan China-Kanada sedangkan ibunya
asli Korea jadi aku memutuskan untuk mengikuti darah ibunya saja agar lebih
mudah ketika ia besar nanti.”
Pantas saja wajah Kris terlihat berbeda dengan orang
Korea pada umumnya meskipun logat dan cara bicaranya sangat mirip seperti orang
Korea.
“Lee Chan Soo, nama yang bagus.”
“Terimakasih.”
Senyumannya…
Juga mirip sepertinya.
“Tahun ini Chan Soo berumur 3 tahun dan ia baru saja
masuk di sebuah Playgroup. Ia terlihat sangat senang saat hari pertama masuk.
Anak-anak selalu saja antusias saat mendapatkan hal-hal baru.”
Senyuman di wajah Kris itu membuatku yakin betapa
menyenangkannya menjadi seorang ayah. Betapa berharga hidupnya saat melihat
perkembangan anaknya setiap hari. Aku hanya ikut tersenyum melihatnya.
Benar-benar berbeda denganku.
“Bagaimana denganmu, Chanyeol? Ceritakan padaku
tentangmu agar kita bisa lebih akrab.”
Menceritakan tentangku padanya?
Aku berada jauh di bawahnya jika soal pengalaman hidup.
Ia memiliki semua yang aku impikan tentang keluarga, sementara aku masih dalam
tahap bermimpi untuk mewujudkannya.
Menyedihkan sekali kau, Chanyeol.
“Aku belum menikah jadi tidak ada yang menarik
tentangku.”
“Begitu ya, lalu bagaimana dengan pacar? Pasti kau
punya kan?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Aku tidak tertarik untuk bermain-main dengan wanita
lain.”
“Wanita lain? Jadi kau punya seseorang yang istimewa
hingga membuatmu hanya bertahan untuknya dan mengabaikan yang lain?”
“Kurang lebih seperti itu.”
Tebakannya benar-benar sangat tepat dengan apa yang
sedang kualami. Sudah setahun sejak aku mencari Ji Yoon dan tidak menemukannya
hingga sekarang aku masih tetap bertahan pada perasaan itu.
“Melihatmu aku teringat akan pertemuanku dengan istriku.”
Apakah ia akan menceritakan kisah hidupnya dan
membuatku semakin iri padanya?
Argh!
Ia benar-benar memiliki semuanya.
“Kami bertemu dan menikah tiga minggu kemudian.”
“Eh, hanya dalam waktu tiga minggu kemudian menikah?”
“Ya. Dalam tiga minggu itu aku sudah memberikan seluruh
hidupku untuknya dan begitu pula sebaliknya, ia sudah memberikan seluruh
hidupnya untukku.”
Baru bertemu tiga minggu lalu menikah?
Kurasa Kris cukup nekat dan gila.
“Dan aku tidak menyesal menikahinya karena ia benar-benar
seorang wanita yang layak untuk dijadikan istri.”
“Appa, Chan Soo ingin ke toilet.”
Chan Soo yang sejak tadi sibuk memakan es krim
tiba-tiba merengek pada Kris memohon untuk menemaninya pergi ke toilet.
Perbincangan kami pun terpaksa terhenti sementara. Aku menyeruput coffee
late-ku dan menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku merasa gugup, entah
apa sebabnya.
“Maaf menganggu, tapi apa kau melihat seorang bocah
kecil dan pria tinggi disini?”
Suara itu!
Suara yang ada dibalik punggungku.
Tidak salah lagi!
“Tuan, apa kau bersama–”
Wajah itu…
Wajah yang selama ini kucari di setiap tempat yang
kudatangi.
Wajah yang sangat ingin kulihat.
Ia ada di depan mataku…
Tatapan yang masih sama seperti dulu…
Lee Ji Yoon.
Dunia terasa hening bagi kami berdua saat bertatapan
satu sama lain. Kerinduan yang terkubur dalam-dalam seketika membuncah dan
menimbulkan kembali denyut-denyut aneh seperti dulu.
Saling menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun hingga kami tak menyadari sudah berapa lama waktu yang
terbuang karena kegiatan ini. Aku ingin berdiri lalu memeluknya tapi sesuatu di
lubuk hatiku seolah memperingatkan bahwa aku tak boleh bertindak sembarangan.
“Ji–”
“Eomma.”
Mataku sontak membulat mendengar panggilan itu.
Eomma?
Chan Soo memanggilnya dengan sebutan eomma?
“Chan Soo sakit perut lagi, Eomma.”
Jangan katakan bahwa…
“Ah, akhirnya kau datang. Chanyeol, kenalkan ini
istriku, Lee Ji Yoon.”
Istri?
Kris dan Ji Yoon?
Chan Soo?
Apa-apaan ini?
Apa maksudnya?
Tapi kenapa?
Inikah yang kudapatkan setelah mengurung hatiku selama
ini hanya untuknya?
Inikah yang kudapatkan setelah mencarinya seperti orang
bodoh?
Aku berharap ini hanya mimpi buruk yang biasa menimpaku
tapi aku merasakan sakit, yang membuktikan bahwa ini bukanlah mimpi. Aku
merasakan sakit yang teramat di suatu tempat yang disebut hati. Jauh lebih
menyakitkan dibanding luka yang berdarah.
Ji Yoon,
Apa yang akan kau katakan padaku sekarang?
“Lama tidak bertemu, Ji Yoon.”
Senyum palsu yang kutujukan untuknya…
Bisakah ia melihat sesuatu dibalik senyuman palsuku?
Bisakah ia merasakan pahit dibalik senyuman manisku?
“Kau mengenal Ji Yoon?”
“Ya, kami teman sekelas saat SMA.”
Teman?
Omong kosong macam apa yang sudah aku katakan?
Aku bahkan sudah melakukan hal yang lebih padanya dari
sekedar teman.
Jika Kris mengetahuinya mungkin ia akan menghajarku
habis-habisan sekarang.
“Padahal aku ingin mengenalkanmu dengan istriku tapi
ternyata kau sudah mengenalnya.”
“…”
“Ah, barusan boss-ku mengirim pesan dan ada urusan yang
harus aku selesaikan. Maaf kami harus pulang lebih dulu karena Chan Soo juga
mengeluh sakit perut tapi lain waktu pasti aku akan meluangkan lebih banyak
waktu, Chanyeol.”
“Ya, tidak apa-apa.”
Tidak akan ada lain waktu!
Aku tidak mungkin mau menemui Kris lagi setelah semua
fakta ini terungkap di depan mataku. Tapi tetap saja aku ingin menanyakan semua
yang ada di kepalaku padanya. Aku ingin semuanya terjawab. Aku ingin mendengar
semua penjelasan dari Ji Yoon. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Aku harus mendinginkan kepala dan hatiku untuk waktu
yang lama.
Ji Yoon,
Raut wajah itu…
Apakah kau menyembunyikan sesuatu?
~~~
“Kau hampir menghabiskan dua botol soju sendirian, yoda!
Aku akan menghajarmu jika kau memuntahkannya di sofa merah maroon
kesayanganku.”
“Ayolah kawan, kau terlihat sangat menyedihkan
sekarang.”
“Jadi seperti inilah seorang Park Chanyeol saat sedang
patah hati.”
“Sehun, tolong tuangkan lagi..”
“Sudah cukup, yoda!”
“Aku akan merasa tenang jika aku melupakan kenyataan.”
“Kau harus belajar untuk menerima kenyataan, Chanyeol.
Kau masih ingat bagaimana saat Sehun memergoki kekasihnya selingkuh?”
“Ya, ia menghajar samsak tinju semalaman.”
“Itu lebih baik dibandingkan menghabiskan dua botol
soju yang pada akhirnya hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”
“Jongdae, analaogimu benar-benar tak bermutu.”
Aku hanya duduk lesu setelah menghabiskan hampir dua
botol soju. Sehun dan Jongdae bahkan memutuskan untuk ikut menginap di rumah
Baekhyun. Mereka bilang untuk berjaga-jaga jika aku berniat melakukan hal gila
karena terlalu depresi.
“Jadi, wanita yang diceritakan Paman Kim yang selalu
memberinya makanan adalah Ji Yoon? Itu berarti Ji Yoon adalah tetangga Paman
Kim.”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Kalau begitu kenapa kau tidak datang ke rumah Ji Yoon
saja, Chanyeol? tanyakan semuanya padanya.”
“Lalu Kris akan memukuli Chanyeol hingga babak belur
karena tiba-tiba datang dan memaksa Ji Yoon menjawab semua pertanyaannya.
Tolong berikan solusi yang benar, Kim Jongdae.”
“Aku sedikit tertarik dengan bocah bernama Chan Soo
yang kau sebutkan, Chanyeol.”
Chan Soo?
“Mungkin saja ia adalah putramu, Chanyeol.”
Lelucon apalagi yang tengah Jongdae katakan hanya untuk
membuatku terhibur?
Jika Chan Soo adalah putraku, mana mungkin Kris begitu
menyayanginya dan Ji Yoon tidak mengatakan apapun selama empat tahun ini.
Hal seperti itu tidak mungkin terjadi.
Aku merebahkan tubuhku di sofa saat efek alkohol mulai
menyerang saraf-sarafku dan membuat pandanganku perlahan kabur sebelum akhirnya
aku terlelap.
Berharap semua mimpi buruk ini berakhir.
~~~
“Kali ini aku datang lebih dulu, Chanyeol.”
Sudah dua minggu sejak pertemuanku dengan Kris dan Ji
Yoon malam itu. Kali ini aku bertemu lagi dengan Kris dan dialah yang memintaku
untuk bertemu dengannya dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang sangat
penting. Meski sulit tapi tidak ada alasan bagiku untuk menolak karena aku juga
punya banyak hal yang ingin kutanyakan tanpa membuatnya mencurigaiku.
“Jadi, hal penting apa yang ingin kau bicarakan, Kris?”
“Ini menyangkut tentang Ji Yoon.”
Seperti dugaanku.
“Aku ingin kau menjaga Ji Yoon dan Chan Soo.”
Keningku sontak berkerut mendengar ucapannya.
Apa maksudnya?
Kenapa ia tiba-tiba berkata seperti itu padaku?
“Apa maksudmu, Kris?”
“Umurku tidak akan lama, karena itulah kau harus
menggantikanku dan menjaga mereka.”
“Tunggu! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan dan
jangan seenaknya menyuruhku, Kris!”
‘BUGHH’
Kris menghantamkan pukulannya di pipi kiriku dan itu
benar-benar sakit.
Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Ia tiba-tiba berbicara hal aneh lalu menghajarku.
“Jangan main-main denganku dan bicaralah yang jelas,
Kris.”
“Aku akan bicara dan mengatakan semuanya jadi dengarkanlah
dan jangan bertanya sebelum aku selesai!”
Mata tajam itu akhirnya memberikan aura yang membuatku
terdiam.
“Aku memiliki masalah kesehatan di jantung dan itu
sangat serius. Aku sudah mengunjungi beberapa dokter dan semua memvonis bahwa
waktuku tidak akan lama lagi. Ji Yoon dan Chan Soo, aku tidak ingin
meninggalkan mereka saat ajalku tiba karena itulah aku memintamu untuk
menggantikanku sebagai kepala keluarga bagi mereka agar aku bisa beristirahat
dengan tenang disana nantinya.”
Waktunya tidak lama?
Kris yang terlihat sehat ini memiliki penyakit serius
seperti itu?
“Kenapa harus aku, Kris?”
Hening.
Untuk beberapa saat Kris hanya termenung sebelum
akhirnya menatapku tajam.
“Karena kau adalah ayah biologis dari Chan Soo.”
Ayah?
Aku?
Apa ia sedang bercanda?
“Apa maksud–”
“Saat kau pergi ke Jepang Ji Yoon tengah mengandung
Chan Soo. Ia ingin memberitahumu saat itu tapi melihatmu yang begitu semangat
untuk mengejar cita-cita ia tidak jadi mengutarakan kebenarannya. Ia berusaha
menanggung semuanya sendirian.”
“Tunggu! Jadi Chan Soo adalah…”
“Ya, ia adalah darah dagingmu.”
Aku seorang ayah?
Sejak dulu aku sudah menjadi seorang ayah?
Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi sekarang?
“Saat itu aku tengah mengunjungi restoran milik temanku
dan disanalah aku bertemu Ji Yoon. Ia bekerja disana untuk membiayai
kehidupannya dan anak dalam kandungannya. Ia tidak ingin kau mengetahui semua
itu karena ia tidak ingin merepotkanmu.”
“Kau mengetahui semuanya, Kris?”
Ia menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.
“Lalu, kenapa kau mau menikahinya?”
“Karena Ji Yoon sama sepertiku. Kami tidak memiliki
saudara dan hidup sendirian di dunia ini. Hati kecilku tidak tega membiarkannya
bekerja keras dalam keadaan hamil besar seperti itu dan… aku tidak bisa
menghasilkan keturunan jadi aku dengan senang hati menerima kehadiran Chan Soo
dalam rahimnya dan menikahi Ji Yoon.”
Ia tersenyum.
Senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaan tak
terbatas.
Kris tidak berbohong.
Itu adalah senyuman paling tulus yang pernah kulihat
selain senyuman Ji Yoon.
“Kau pasti sangat marah padaku kan, Chanyeol?”
“Tidak. Aku justru marah pada diriku sendiri karena
terlalu bodoh.”
Ya, aku terlalu bodoh.
Aku menganggap Ji Yoon mengkhianatiku dan seketika
membenci Kris saat mengetahui bahwa mereka adalah suami istri. Aku langsung
berprasangka buruk pada Ji Yoon, padahal akulah yang seharusnya paling mengerti
perasaannya.
Saat itu aku tidak menyempatkan diri untuk
mendengarkannya. Aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa pernah berpikir
apakah yang aku lakukan pada Ji Yoon nantinya akan menyulitkannya. Aku bahkan
sangat yakin bahwa apa yang kami lakukan malam itu tidak akan membuahkan hasil
tapi kenyataannya takdir berkata lain hingga akhirnya Chan Soo terlahir di
dunia ini dan aku tidak mengetahuinya.
Tidak menyadari bahwa ada darahku yang mengalir di
tubuh Chan Soo.
Apa yang harus ku katakan pada Chan Soo?
Apa Ji Yoon akan menamparku?
Apa dunia ini akan memaafkan perbuatanku?
“Aku ingin kau bertanggung jawab atas perbuatan yang
telah kau lakukan, Chanyeol. Karena itu tolong lindungi Ji Yoon dan Chan Soo
saat aku tak lagi bisa melindungi mereka. Berjanjilah padaku sebagai seorang
teman.”
Kris, apa kau tak ingin menghajarku lagi?
Bukankah aku terlihat seperti pria brengsek.
“Aku sudah puas setelah melayangkan pukulanku tadi jadi
berhentilah memasang raut wajah seperti itu. Kau harus bisa menepati janjimu,
oke?”
“Kau benar.”
“Aku tau kau adalah pria sejati, Chanyeol.”
Kris,
Seseorang yang kuanggap beruntung padahal ia mengalami
semua kesulitan ini. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku benar-benar nol
jika dibandingkan dengannya. Jika waktu itu aku tidak bertemu dengannya maka
aku tidak akan memiliki kesempatan melihat putraku yang telah tumbuh besar.
Jika ia tidak menolong Ji Yoon dengan ketulusannya maka aku mungkin akan merasa
sangat bersalah dan tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena
membiarkan Ji Yoon menanggung semua beban sendirian.
Kris, terimakasih.
Kau adalah perantara yang diberikan sang pencipta
untukku agar mampu memperbaiki kesalahanku.
~~~
(one year later…)
“…yeol”
“Chanyeol…”
“Ji Yoon mencarimu kemana-mana dan kau malah tidur di
kedai, yoda!”
Teriakan Baekhyun sukses membuat indera pendengaranku
meradang. Suara tingginya seketika mencapai saraf-saraf di otakku dan membuatku
mengerjapkan mataku perlahan. Dan tepat saat mataku terbuka lebar, aku melihat
Ji Yoon tengah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.
“Eh, apa yang kau lakukan disini, Ji Yoon?”
“Kau membuatnya khawatir dan ternyata benar. Kau minum
soju di kedai ini padahal kau sedang sakit, yoda.”
“Ah, itu.. aku.. aku hanya minum sedikit kok.”
“Aku baru saja membeli beberapa obat untukmu,
Chanyeol.”
Ji Yoon menyodorkan plastik yang berisi obat-obatan
untukku. Ya, akhir-akhir ini aku sering mengalami demam dan sakit kepala karena
pekerjaan di kantor yang semakin banyak. Sesuatu yang tidak bisa dihindari bagi
seorang pekerja kantor sepertiku.
“Kau juga belum pulih jadi cepat pulang dan
beristirahatlah, yoda.”
Aku berdiri dan menarik kedua tangan Ji Yoon lalu
memasukkan kedua tangannya dalam saku jaketku. Ia sedikit terkejut atas ulahku
yang tiba-tiba sementara Baekhyun menjitak kepalaku dengan santainya saat
melihat ulahku.
“Kau jangan melakukan hal-hal aneh di tempat umum,
yoda.”
“Eh? Aku hanya ingin melindungi Ji Yoon dari udara
dingin, Baek.”
Ji Yoon hanya terkekeh kecil dan menggenggam tanganku
erat didalam saku yang tak dapat dilihat oleh siapapun, hanya bisa dirasakan
olehku dan Ji Yoon. Pipinya masih merona seperti dulu setiap kali kontak fisik
antara kami terjadi.
Ia sama sekali tak berubah.
“Dimana Chan Soo?”
“Dia bersama Sehun di rumah.”
“Sehun?”
“Ah, tadi aku menelpon Baekhyun dan Sehun untuk
menanyakan keberadaanmu karena ponselmu tidak aktif dan mereka malah berniat
membantuku mencarimu, jadi aku menitipkan Chan Soo pada Sehun karena malam
sudah mulai larut.”
“Kau membuat istrimu khawatir, yoda.”
“Hehe, aku benar-benar lelah sampai tidak sadar jika
aku terlelap disini. Maaf sudah membuatmu khawatir, Ji Yoon.”
~~~
“Appa…”
Tubuh mungil itu berlari ke arahku dan memelukku yang
sudah bersiap menyambutnya dengan posisi berjongkok. Tubuh kecil yang seketika
menyalurkan perasaan hangat dan menenangkan untukku. Panggilan sederhana yang
membuatku merasa senang hanya dengan mendengarnya.
“Appa, bacakan dongeng untuk Chan Soo.”
“Chan Soo, biarkan Appa beristirahat ya. Hari ini Eomma
yang akan membacakan dongeng untuk Chan Soo.”
“Tidak apa-apa, Ji Yoon. Biar aku saja yang
melakukannya.”
Aku menggendong tubuh mungil Chan Soo dan mengantarnya
ke kamar tidur lalu mengambil buku yang ada di atas meja dan membacakan
beberapa cerita. Tidak perlu waktu yang lama hingga akhirnya kedua hazel kecil
itu terpejam dengan pulasnya. Kutarik selimut hingga menutupi lehernya dan
menyalakan penghangat ruangan karena cuaca yang memang sedang dingin.
“Mimpi yang indah, putra kecilku.”
Mengusap lembut surai hitamnya setiap kali ia terlelap
adalah hal paling membahagiakan bagiku. Aku ingin terus seperti ini. Impian yang
sejak dulu aku idam-idamkan akhirnya ada di depan mataku.
Bekerja hingga aku kelelahan hanya untuk istri dan
anakku. Merawat malaikat kecilku dan melihat perkembangannya setiap hari.
Tinggal di dalam rumah yang terasa sangat hangat karena kehadiran mereka
berdua. Tak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan semua ini.
“Chan Soo sudah tidur?”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Appa…”
“Ia mengigau?”
“Appa… Chan Soo… ingin punya adik…”
Ia menggumam dalam tidurnya lalu bergerak dan memeluk
guling yang ada di samping kanannya. Aku tersenyum kecil melihat tingkah Chan
Soo yang terlihat menggemaskan meskipun sedang tertidur. Sejurus kemudian aku
menatap Ji Yoon dan manik mata itu membalasku seolah berkata ‘kenapa?’ dan aku
hanya menjawabnya dengan sebuah bisikan lembut.
“Ayo kita wujudkan keinginan Chan Soo.”
~
END ~
Harap tinggalkan komentar untuk menghargai karya author karena komentar kalian adalah penyemangat bagi si penulis and thanks for reading my fiction ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner