Cover (c) to the owner
[ Chapter 6 - Ikatan ]
Author ::: Riska Junaini
Genre ::: Romance, Comedy
Cast ::: Okita Sougo & Kagura
Summary
"Konon, di jari kelingking setiap manusia ada benang merah yang tak kasat mata. Benang merah tersebut dikaitkan pada setiap pasangan yang berjodoh agar suatu saat nanti mereka dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Benang merah yang menuntun takdir manusia."
Note!
Cast adalah murni milik Sorachi Hideaki. Cerita ditulis untuk kepentingan hiburan tanpa bermaksud merugikan atau menjelekkan pihak manapun. Harap untuk tidak meniru sebagian atau keseluruhan cerita dan tidak menyebarkannya tanpa izin penulis. Bagi yang tidak suka dengan pairing OkiKagu silahkan angkat kaki dan pergi sejauh mungkin dari dunia fiksi saya. Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati.
~~~
"Lagipula, aku sudah terikat benang merah dengan gadis lugu yang meminjamkan payung padaku delapan tahun lalu."
DEG!
Kagura merasa seluruh tubuhnya lumpuh mendengar ucapan Okita Sougo. Jantungnya merespon dengan berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kakinya mulai gemetar karena rasa gugup yang semakin tak terkendali. Gadis itu ingin mengatakan sesuatu agar tak terlihat canggung tapi mulutnya benar-benar terkunci rapat hingga tak dapat mengatakan apapun. Kalimat yang keluar dari mulut laki-laki berambut cokelat terang itu bak bisa ular yang meracuni tubuh Kagura dengan cepat.
"Apa yang salah denganku, aru?"
"Aku tidak menyangka jika bajingan sepertimu bisa memiliki perasaan seperti itu."
"Siapa yang kau sebut bajingan? Meski aku memiliki tampang playboy tapi aku bukan laki-laki yang suka mempermainkan perasaan wanita jadi jangan memberiku julukan seperti itu."
Sahut laki-laki berambut cokelat terang karena tak terima dengan pernyataan lawan bicaranya. Pandangannya kini mengarah lurus ke depan. Matanya menyiratkan sesuatu yang hanya diketahui olehnya. Sikap diam gadis yang duduk disampingnya sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Ya, gadis lugu yang disebutkan oleh Sougo sebelumnya adalah gadis yang kini duduk disampingnya. Gadis beringas yang selalu berusaha menghajar wajahnya setiap kali bertemu. Gadis yang berbicara dengan logat aneh dan selalu memberikan sumpah serapah padanya. Gadis bodoh yang memiliki ingatan buruk hingga Sougo harus membantunya mengingat hari dimana mereka dipertemukan oleh 'Benang Merah' untuk pertama kalinya.
Kagura.
Sougo bukan seseorang yang suka mengingat masa lalu. Saat itu ia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang meminjamkan payung padanya tapi ia tak berniat repot-repot mencarinya. Soal pertemuan adalah takdir dari Tuhan. Sougo hanya membuat janji sepihak pada dirinya sendiri bahwa jika secara kebetulan bertemu lagi dengan gadis itu, maka Sougo akan mengembalikan payung miliknya dan mengucapkan terimakasih.
"Padahal aku hanya perlu mengembalikannya lalu mengucapkan terimakasih tapi bagi pecundang seperti diriku itu adalah hal yang sulit dilakukan."
Tahun demi tahun berlalu hingga akhirnya bertemu kembali dengan kesan yang berbanding terbalik. Sosok gadis lugu yang bahkan wajahnya tak diketahui oleh Sougo sontak berputar di pikirannya ketika melihat gadis bermanik biru laut dengan logat aneh itu. Bertanya pada dirinya dan hati kecilnya sendiri akan jawaban tersebut. Dan hari ini ia telah memastikan jawabannya.
"Apa kau sakit perut? Tidak biasanya kau hening dan gelisah seperti itu, Kagura."
"Aku harus ke toilet, aru."
Lirihnya berbohong dengan suara yang nyaris tak terdengar. Tak ingin berlama-lama berada di dekat laki-laki berambut cokelat terang. Secepatnya ia berlari dengan alasan palsu hanya untuk menghilangkan perasaan aneh yang tengah mendera hatinya. Tidak masalah jika harus mengurung diri di toilet selama itu bisa menjauhkannya dari seorang Okita Sougo. Begitulah pikirnya.
Sougo hanya memicingkan matanya ketika Kagura pergi. Menatap tubuh mungilnya yang semakin menjauh. Sougo paham betul apa yang tengah terjadi pada gadis itu dan sejujurnya ia cukup penasaran akan reaksi Kagura. Namun, siapa yang menyangka jika gadis liar itu ternyata masih bisa merasakan gugup karena laki-laki. Jika saja tak ada Kamui disampingnya maka Sougo akan tertawa kencang saat ini.
"Kena kau, China!"
"Ah! Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu padamu tapi aku menundanya karena keberadaan adikku. Aku sudah penasaran akan hal ini sejak pertama kali melihatmu."
"..."
"Kau tidak bisa membohongi mataku meski kau terus memasang raut wajah datar seperti itu. Aku juga laki-laki dan terlebih lagi aku adalah kakak dari gadis payah itu jadi aku bisa membaca sedikit dari pikiranmu dan pikirannya."
"..."
"Kau tertarik dengan adikku, kan?"
DEG!
Kamui berucap santai dengan wajah yang dihiasi senyum. Puluhan detik berlalu dan tak ada jawaban keluar dari mulut Sougo. Wajahnya masih tenang tak berekspresi seolah tak ada hal yang harus dijawab olehnya. Namun, sebenarnya ia sangat terkejut akan pertanyaan yang diajukan Kamui. Tak menyangka bahwa laki-laki yang tampak bodoh ternyata bisa membaca pikirannya sejauh itu.
"Apa yang kau bicarakan, Bakamui?"
"Sepertinya kau memakai topeng yang cukup tebal, Ahokita-kun."
"..."
"Sampai sejauh mana kau ingin menutupinya? Apa kau tidak ingin mendapatkan restu dariku? Jika kau jujur mungkin aku akan menimbang-nimbang untuk merestui hubungan kalian, loh."
"Kami-sama, tolong jatuhkan meteor di atas kepala orang ini."
"Aku akan mengizinkanmu mendekati adikku jika kau memberiku makanan yang banyak setiap hari saat di sekolah. Bagaimana menurutmu tawaranku itu, Ahokita-kun?"
"Tidak tertarik."
Sougo menyahut malas dan beranjak pergi dari tempat tersebut. Kamui hanya menampilkan senyum lugu seperti sebelumnya. Membiarkan sosok itu pergi tanpa menjawab poin penting yang ia pertanyakan. Lagipula, ia sudah tahu jawabannya.
"Adikku sangat lugu soal perasaan jadi jangan membuatnya menangis ya, Ahokita-kun."
"Berisik!"
Sougo berjalan cepat sebelum sosok menyebalkan di belakangnya kembali berceloteh. Kepalanya mungkin akan meledak jika terus-terusan mendengar ucapan Kamui yang terkesan meledeknya.
Ya, orang itu tengah meledeknya yang tak bisa berkata jujur soal perasaan. Alasan kenapa Sougo merasa tak perlu menjawab pertanyaan utama karena ia yakin Kamui sudah mengetahuinya. Fakta bahwa Kamui bersikap seperti seorang kakak ipar membuatnya muak dan kesal.
"Merepotkan sekali jika harus mendengar celotehannya setiap hari."
DEG!
Kagura merasa seluruh tubuhnya lumpuh mendengar ucapan Okita Sougo. Jantungnya merespon dengan berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kakinya mulai gemetar karena rasa gugup yang semakin tak terkendali. Gadis itu ingin mengatakan sesuatu agar tak terlihat canggung tapi mulutnya benar-benar terkunci rapat hingga tak dapat mengatakan apapun. Kalimat yang keluar dari mulut laki-laki berambut cokelat terang itu bak bisa ular yang meracuni tubuh Kagura dengan cepat.
"Apa yang salah denganku, aru?"
"Aku tidak menyangka jika bajingan sepertimu bisa memiliki perasaan seperti itu."
"Siapa yang kau sebut bajingan? Meski aku memiliki tampang playboy tapi aku bukan laki-laki yang suka mempermainkan perasaan wanita jadi jangan memberiku julukan seperti itu."
Sahut laki-laki berambut cokelat terang karena tak terima dengan pernyataan lawan bicaranya. Pandangannya kini mengarah lurus ke depan. Matanya menyiratkan sesuatu yang hanya diketahui olehnya. Sikap diam gadis yang duduk disampingnya sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Ya, gadis lugu yang disebutkan oleh Sougo sebelumnya adalah gadis yang kini duduk disampingnya. Gadis beringas yang selalu berusaha menghajar wajahnya setiap kali bertemu. Gadis yang berbicara dengan logat aneh dan selalu memberikan sumpah serapah padanya. Gadis bodoh yang memiliki ingatan buruk hingga Sougo harus membantunya mengingat hari dimana mereka dipertemukan oleh 'Benang Merah' untuk pertama kalinya.
Kagura.
Sougo bukan seseorang yang suka mengingat masa lalu. Saat itu ia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang meminjamkan payung padanya tapi ia tak berniat repot-repot mencarinya. Soal pertemuan adalah takdir dari Tuhan. Sougo hanya membuat janji sepihak pada dirinya sendiri bahwa jika secara kebetulan bertemu lagi dengan gadis itu, maka Sougo akan mengembalikan payung miliknya dan mengucapkan terimakasih.
"Padahal aku hanya perlu mengembalikannya lalu mengucapkan terimakasih tapi bagi pecundang seperti diriku itu adalah hal yang sulit dilakukan."
Tahun demi tahun berlalu hingga akhirnya bertemu kembali dengan kesan yang berbanding terbalik. Sosok gadis lugu yang bahkan wajahnya tak diketahui oleh Sougo sontak berputar di pikirannya ketika melihat gadis bermanik biru laut dengan logat aneh itu. Bertanya pada dirinya dan hati kecilnya sendiri akan jawaban tersebut. Dan hari ini ia telah memastikan jawabannya.
"Apa kau sakit perut? Tidak biasanya kau hening dan gelisah seperti itu, Kagura."
"Aku harus ke toilet, aru."
Lirihnya berbohong dengan suara yang nyaris tak terdengar. Tak ingin berlama-lama berada di dekat laki-laki berambut cokelat terang. Secepatnya ia berlari dengan alasan palsu hanya untuk menghilangkan perasaan aneh yang tengah mendera hatinya. Tidak masalah jika harus mengurung diri di toilet selama itu bisa menjauhkannya dari seorang Okita Sougo. Begitulah pikirnya.
Sougo hanya memicingkan matanya ketika Kagura pergi. Menatap tubuh mungilnya yang semakin menjauh. Sougo paham betul apa yang tengah terjadi pada gadis itu dan sejujurnya ia cukup penasaran akan reaksi Kagura. Namun, siapa yang menyangka jika gadis liar itu ternyata masih bisa merasakan gugup karena laki-laki. Jika saja tak ada Kamui disampingnya maka Sougo akan tertawa kencang saat ini.
"Kena kau, China!"
"Ah! Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu padamu tapi aku menundanya karena keberadaan adikku. Aku sudah penasaran akan hal ini sejak pertama kali melihatmu."
"..."
"Kau tidak bisa membohongi mataku meski kau terus memasang raut wajah datar seperti itu. Aku juga laki-laki dan terlebih lagi aku adalah kakak dari gadis payah itu jadi aku bisa membaca sedikit dari pikiranmu dan pikirannya."
"..."
"Kau tertarik dengan adikku, kan?"
DEG!
Kamui berucap santai dengan wajah yang dihiasi senyum. Puluhan detik berlalu dan tak ada jawaban keluar dari mulut Sougo. Wajahnya masih tenang tak berekspresi seolah tak ada hal yang harus dijawab olehnya. Namun, sebenarnya ia sangat terkejut akan pertanyaan yang diajukan Kamui. Tak menyangka bahwa laki-laki yang tampak bodoh ternyata bisa membaca pikirannya sejauh itu.
"Apa yang kau bicarakan, Bakamui?"
"Sepertinya kau memakai topeng yang cukup tebal, Ahokita-kun."
"..."
"Sampai sejauh mana kau ingin menutupinya? Apa kau tidak ingin mendapatkan restu dariku? Jika kau jujur mungkin aku akan menimbang-nimbang untuk merestui hubungan kalian, loh."
"Kami-sama, tolong jatuhkan meteor di atas kepala orang ini."
"Aku akan mengizinkanmu mendekati adikku jika kau memberiku makanan yang banyak setiap hari saat di sekolah. Bagaimana menurutmu tawaranku itu, Ahokita-kun?"
"Tidak tertarik."
Sougo menyahut malas dan beranjak pergi dari tempat tersebut. Kamui hanya menampilkan senyum lugu seperti sebelumnya. Membiarkan sosok itu pergi tanpa menjawab poin penting yang ia pertanyakan. Lagipula, ia sudah tahu jawabannya.
"Adikku sangat lugu soal perasaan jadi jangan membuatnya menangis ya, Ahokita-kun."
"Berisik!"
Sougo berjalan cepat sebelum sosok menyebalkan di belakangnya kembali berceloteh. Kepalanya mungkin akan meledak jika terus-terusan mendengar ucapan Kamui yang terkesan meledeknya.
Ya, orang itu tengah meledeknya yang tak bisa berkata jujur soal perasaan. Alasan kenapa Sougo merasa tak perlu menjawab pertanyaan utama karena ia yakin Kamui sudah mengetahuinya. Fakta bahwa Kamui bersikap seperti seorang kakak ipar membuatnya muak dan kesal.
"Merepotkan sekali jika harus mendengar celotehannya setiap hari."
~~~
"Apa kau sudah tidur, Kagura?"
Kamui bersuara dari depan pintu kamar yang tertutup rapat. Beberapa detik berlalu dan tak ada jawaban dari dalam. Tangannya lalu meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Memastikan agar pintu tak menghasilkan suara decitan. Manik biru lautnya terpusat pada gadis mungil yang tubuhnya tertutup selimut hingga sebatas leher.
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Kagura."
"..."
"Aku tahu kau masih terjaga dan hanya berpura-pura tak mendengarku."
"Kenapa kau sangat ingin tahu urusanku, aru?"
Kagura akhirnya menyahut dengan raut wajah tak bersemangat. Maniknya menatap malas wajah sang kakak yang tengah menampilkan senyuman lugu. Terlihat menyebalkan baginya. Kamui duduk di kursi belajar milik Kagura sembari membuka buku yang tak berisi catatan apapun. Tentu saja karena adiknya adalah murid pemalas yang tak pernah mencatat satu huruf pun pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
"Kau seharusnya mengetuk pintu saat masuk ke kamar seorang gadis, aru."
"Eh? Apa kamar seorang gadis selalu berantakan seperti ini?"
"Masih lebih baik jika dibandingkan dengan kamarmu yang bahkan tak layak dijadikan gudang penyimpanan, aru."
Kagura bangkit dari posisinya dan duduk di tepi ranjang. Memunggungi sang kakak yang kini tengah membuka laci-laci mejanya. Apalagi yang dicari jika bukan makanan dan tentu saja Kagura sudah menyimpannya di tempat yang aman. Ia hanya meletakkan beberapa sukonbu di dalam laci karena ia tahu Kamui tidak menyukai camilan favoritnya itu.
"Apa kau pernah bertemu dengan si rambut cokelat itu sebelumnya, Kagura?"
"Entahlah. Aku banyak menjumpai orang-orang bodoh jadi aku tidak terlalu ingat, aru."
"Dia bicara tentang seorang gadis yang meminjamkan payung padanya."
"Kenapa kau menyimpulkan jika gadis itu adalah aku, aru?"
"Pandangannya ketika menatapmu memberikan kesan seperti seorang aktor drama yang diam-diam mengalami cinta lokasi dengan lawan mainnya."
"Itu karena kau terlalu banyak menonton drama, aru."
"Sepertinya begitu. Mana mungkin ada laki-laki yang menyukai gadis payah sepertimu."
Kagura mendengus malas mendengar balasan Kamui. Ingin sekali ia menendang kakaknya keluar karena telah mengganggu waktu istirahatnya hanya untuk membahas hal yang tak penting. Namun, itu akan memancing kecurigaan yang lebih besar.
"Apa kau pernah mendengar mitos tentang 'Benang Merah' yang selalu disebutkan dalam drama dan manga?"
"Itu hanya dongeng yang dibuat oleh orangtua untuk menyenangkan hati anak-anaknya, aru. Kenapa dewa harus bersusah payah mengikatkan benang pada kelingking setiap pasangan? Masih banyak hal mulia yang bisa dilakukan oleh dewa selain mengikat benang, aru."
Kagura menatap pasti jari kelingkingnya. Membayangkan jika ada benang merah yang terikat disana. Tentu saja itu aneh. Perasaan itu kembali muncul ketika bayangan Sougo melintas di pikirannya. Namun, dengan cepat ia menyingkirkan sosok menyebalkan itu dari otaknya. Tak ingin laki-laki bermanik crimson itu terus-terusan menghantuinya bersama perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
"Lagipula, aku sudah terikat benang merah dengan gadis lugu yang meminjamkan payung padaku delapan tahun lalu."
Kagura masih belum bisa mencerna dengan sempurna pernyataan Okita Sougo. Itulah sebabnya Kagura selalu menyanggah apapun yang berhubungan dengannya. Ia masih bingung dengan apa yang dirasakannya. Seperti kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompong dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Dia memang tampak menyebalkan tapi dia sebenarnya cukup baik untuk dijadikan teman. Hanya sulit mengungkapkan sesuatu sesuai dengan hatinya."
"Bisakah kau berhenti membahas orang itu, aru?"
Manik biru lautnya menatap tegas Kamui. Memberi isyarat padanya untuk menutup mulut dan keluar dari ruangan itu. Kamui yang mengerti perubahan suasana hati adiknya pun akhirnya beranjak keluar. Senyuman kembali terukir di wajahnya sebelum bibirnya mengatakan sesuatu yang sukses membuat Kagura naik darah.
"Aku akan membuatnya mengaku jadi tenang saja, Kagura."
"Aku akan menghajarmu jika kau melakukannya, Baka aniki!"
Kamui bersuara dari depan pintu kamar yang tertutup rapat. Beberapa detik berlalu dan tak ada jawaban dari dalam. Tangannya lalu meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Memastikan agar pintu tak menghasilkan suara decitan. Manik biru lautnya terpusat pada gadis mungil yang tubuhnya tertutup selimut hingga sebatas leher.
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Kagura."
"..."
"Aku tahu kau masih terjaga dan hanya berpura-pura tak mendengarku."
"Kenapa kau sangat ingin tahu urusanku, aru?"
Kagura akhirnya menyahut dengan raut wajah tak bersemangat. Maniknya menatap malas wajah sang kakak yang tengah menampilkan senyuman lugu. Terlihat menyebalkan baginya. Kamui duduk di kursi belajar milik Kagura sembari membuka buku yang tak berisi catatan apapun. Tentu saja karena adiknya adalah murid pemalas yang tak pernah mencatat satu huruf pun pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
"Kau seharusnya mengetuk pintu saat masuk ke kamar seorang gadis, aru."
"Eh? Apa kamar seorang gadis selalu berantakan seperti ini?"
"Masih lebih baik jika dibandingkan dengan kamarmu yang bahkan tak layak dijadikan gudang penyimpanan, aru."
Kagura bangkit dari posisinya dan duduk di tepi ranjang. Memunggungi sang kakak yang kini tengah membuka laci-laci mejanya. Apalagi yang dicari jika bukan makanan dan tentu saja Kagura sudah menyimpannya di tempat yang aman. Ia hanya meletakkan beberapa sukonbu di dalam laci karena ia tahu Kamui tidak menyukai camilan favoritnya itu.
"Apa kau pernah bertemu dengan si rambut cokelat itu sebelumnya, Kagura?"
"Entahlah. Aku banyak menjumpai orang-orang bodoh jadi aku tidak terlalu ingat, aru."
"Dia bicara tentang seorang gadis yang meminjamkan payung padanya."
"Kenapa kau menyimpulkan jika gadis itu adalah aku, aru?"
"Pandangannya ketika menatapmu memberikan kesan seperti seorang aktor drama yang diam-diam mengalami cinta lokasi dengan lawan mainnya."
"Itu karena kau terlalu banyak menonton drama, aru."
"Sepertinya begitu. Mana mungkin ada laki-laki yang menyukai gadis payah sepertimu."
Kagura mendengus malas mendengar balasan Kamui. Ingin sekali ia menendang kakaknya keluar karena telah mengganggu waktu istirahatnya hanya untuk membahas hal yang tak penting. Namun, itu akan memancing kecurigaan yang lebih besar.
"Apa kau pernah mendengar mitos tentang 'Benang Merah' yang selalu disebutkan dalam drama dan manga?"
"Itu hanya dongeng yang dibuat oleh orangtua untuk menyenangkan hati anak-anaknya, aru. Kenapa dewa harus bersusah payah mengikatkan benang pada kelingking setiap pasangan? Masih banyak hal mulia yang bisa dilakukan oleh dewa selain mengikat benang, aru."
Kagura menatap pasti jari kelingkingnya. Membayangkan jika ada benang merah yang terikat disana. Tentu saja itu aneh. Perasaan itu kembali muncul ketika bayangan Sougo melintas di pikirannya. Namun, dengan cepat ia menyingkirkan sosok menyebalkan itu dari otaknya. Tak ingin laki-laki bermanik crimson itu terus-terusan menghantuinya bersama perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
"Lagipula, aku sudah terikat benang merah dengan gadis lugu yang meminjamkan payung padaku delapan tahun lalu."
Kagura masih belum bisa mencerna dengan sempurna pernyataan Okita Sougo. Itulah sebabnya Kagura selalu menyanggah apapun yang berhubungan dengannya. Ia masih bingung dengan apa yang dirasakannya. Seperti kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompong dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Dia memang tampak menyebalkan tapi dia sebenarnya cukup baik untuk dijadikan teman. Hanya sulit mengungkapkan sesuatu sesuai dengan hatinya."
"Bisakah kau berhenti membahas orang itu, aru?"
Manik biru lautnya menatap tegas Kamui. Memberi isyarat padanya untuk menutup mulut dan keluar dari ruangan itu. Kamui yang mengerti perubahan suasana hati adiknya pun akhirnya beranjak keluar. Senyuman kembali terukir di wajahnya sebelum bibirnya mengatakan sesuatu yang sukses membuat Kagura naik darah.
"Aku akan membuatnya mengaku jadi tenang saja, Kagura."
"Aku akan menghajarmu jika kau melakukannya, Baka aniki!"
~~~
"Lagipula, aku sudah terikat benang merah dengan gadis lugu yang meminjamkan payung padaku delapan tahun lalu."
Tangan mungilnya meraih batu kecil yang berserakan di sekitarnya. Melemparkannya asal ke dalam sungai yang terhampar di depannya. Menimbulkan gelombang kecil dan besar yang saling bersahutan.
"Kenapa kalimat itu terus berputar di memoriku, aru?"
Bergumam pada dirinya sendiri sembari mendekap erat kedua lututnya. Duduk sendirian di pinggir sungai pada pagi hari benar-benar memberikan ketenangan batin. Namun, tetap saja ia tak bisa menyingkirkan hal yang sudah mengganggunya sejak kemarin. Padahal tujuannya datang ke tempat ini adalah untuk menjernihkan pikiran.
Kagura sudah merelakan waktu tidurnya di hari minggu hanya untuk menenangkan diri di pinggir sungai. Apa yang terus terngiang di telinganya seolah membuat mentalnya terusik hingga gadis mungil itu tak bisa tenang. Kagura ingin mengabaikan semuanya dan bersikap seolah tak terjadi apapun tapi tentu saja tak semudah itu.
'Plung!'
Seseorang yang entah sejak kapan berada disana melemparkan batu ke dalam sungai. Berdiri beberapa meter di belakang gadis yang berlindung dibalik payung berwarna ungu. Kagura mendelik ketika langkah orang itu semakin mendekat.
"Apa kau sedang memikirkanku, China?"
"D-Dia...!"
"Apa kau masih shock dengan ucapanku malam itu?"
Kagura terdiam sementara laki-laki berambut cokelat terang kini duduk disampingnya. Tentu saja dengan jarak beberapa meter untuk menghindari serangan mendadak yang mungkin dilancarkan gadis mungil itu. Puluhan detik berlalu dan keduanya hanya mengatupkan bibir rapat-rapat. Angin berhembus sepoi-sepoi mengisi keheningan antara keduanya.
Sougo menarik napas dalam-dalam tanpa sepengetahuan gadis disampingnya. Tangannya lalu terulur memberikan sesuatu yang tak asing pada Kagura. Sebuah payung bermotif sakura yang memiliki cerita tersendiri.
"Terimakasih sudah meminjamkan benda busuk ini padaku."
Manik biru laut itu sontak menoleh menatapnya. Memperhatikan sosok berambut cokelat terang dengan seksama. Teringat olehnya bayangan tentang seorang bocah cengeng yang menangis di bawah hujan.
Perlahan tapi pasti tangan Kagura bergerak mengambil benda penuh kenangan itu. Sougo hanya menatap lurus ke depan dengan raut wajah seperti biasanya. Kosong tak berisi tapi dibalik topeng itu ia tersenyum.
"Benda ini menjadi busuk karena terlalu lama berada di tempatmu, aru."
"Seharusnya kau berterimakasih karena aku mau menyimpan benda busuk ini. Lain kali kau harus meninggalkan alamatmu saat meminjamkan sesuatu jadi aku bisa langsung mengembalikan benda busuk milikmu tanpa harus menyimpannya selama bertahun-tahun."
"Aku tidak pernah menyuruhmu mengembalikan payung itu, aru."
Kagura memperhatikan secara detil payung bermotif sakura miliknya. Tak ada debu yang menempel atau bau aneh yang mengganggu indera penciuman. Yang berubah dari payung itu hanya warnanya yang telah pudar.
"Kau menjaga benda busuk ini dengan sangat baik, aru."
"Aku hanya memakainya saat hujan deras agar debu dan bau yang menempel hilang terbawa air hujan. Dengan begitu aku tak perlu repot-repot membersihkannya."
Sougo menyahut dengan nada santai. Kagura menoleh dengan tatapan meledek. Sougo menyadari apa yang dipikirkan gadis itu dan seketika memasang mimik kesal. Sejak awal ia sudah tahu gadis itu akan membahas mengenai hal ini setelah ia mengembalikan payungnya.
"Ternyata bocah cengeng yang aku lihat saat itu benar-benar dirimu. Apa kau masih sering menangis di bawah hujan, aru? Apa aku harus membelikan sekotak tisu untuk mengelap ingusmu, aru? Aku merasa kasihan pada bocah menyedihkan ini, aru."
"Menangis adalah hal yang wajar bagi seorang bocah."
Sougo berusaha membela diri. Kagura hanya tertawa meledek dengan pandangan sama seperti sebelumnya. Ia merogoh saku celananya dan mengulurkan sebungkus sukonbu pada Sougo.
"Aku tidak punya tisu untuk membersihkan ingusmu jadi kau bersihkan saja menggunakan bungkus sukonbu ini, aru."
"Lebih baik kau menggunakannya untuk mengelap keringat dinginmu karena merasa gugup berhadapan denganku, China."
"Hah? Aku gugup karena orang sepertimu? Saat itu aku mengeluarkan keringat dingin karena menahan sakit di perutku bukan karena gugup akibat ucapanmu jadi jangan salah paham, aru."
"Jika kau bersikap tsundere seperti itu maka semuanya semakin jelas, China."
Sougo menyeringai puas setelah berhasil membalas Kagura yang tadi mengolok-oloknya dengan sebutan cengeng. Kagura yang merasa terpojok berusaha memikirkan berbagai macam alasan untuk menyanggah pernyataan Sougo.
" I-Itu karena kau membuatku terkejut. Aku sama sekali tidak senang mendengar pengakuanmu jadi jangan salah paham, aru."
Kagura tergagap dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak berani menatap manik crimson yang kembali membuatnya berdebar. Sougo tersenyum puas melihat Kagura yang mulai salah tingkah.
"Biasanya wanita akan terlihat manis dan mempesona saat bersikap tsundere tapi kau justru terlihat menyebalkan, China. Benar-benar membuatku mual."
Satu.
"Dan saat itu aku mengatakan bahwa aku terikat dengan 'gadis lugu' bukan 'gadis liar' jadi kau tidak perlu merasa gugup seperti itu."
Dua.
"Aku sering mengganggumu hanya untuk mengisi waktu luang jadi jangan mengharapkan hal yang lebih, China."
Tiga.
"Aku bukan laki-laki yang tertarik dengan hal-hal bodoh seperti cinta monyet atau hal konyol lainnya. Aku tidak bisa memperlakukan wanita selain kakakku dengan baik jadi aku tidak berniat menjalin hubungan sepasang kekasih apalagi denganmu."
'Bugh!'
Kagura akhirnya melayangkan tinju ke wajah Sougo setelah berusaha bersabar dengan semua celotehannya. Sougo terdiam bersamaan dengan rasa sakit yang mulai menyebar di kepalanya. Ia bisa saja menghindari pukulan Kagura tapi ia sengaja membiarkan gadis itu memukulnya.
Kagura pun menyadari hal itu. Tangannya gemetar ketika darah mengucur dari hidung Sougo. Padahal biasanya ia akan tertawa puas jika berhasil menghajar laki-laki itu tapi sekarang ia merasa aneh dan tak tega.
"Inilah alasannya kenapa aku tak ingin menjalin hubungan denganmu."
"..."
"Kau mungkin akan berhenti memukuliku dan aku akan berhenti mengolok-olokmu demi menjaga perasaan masing-masing sebagai pasangan. Bukankah hubungan yang seperti itu sangat membosankan?"
Sougo tersenyum kecil sembari memejamkan matanya. Manik biru laut itu membulat. Ribuan kupu-kupu kecil seolah terbang menggelitiki perut Kagura. Kalimat itu terdengar menyenangkan baginya. Lebih manis dari madu.
"Aku juga tidak menyukai hubungan seperti itu, aru."
"..."
"Kau akan bersikap posesif dan melarangku berteman dengan laki-laki lain dan mulai mengganggu waktu istirahatku dengan mengirimkan banyak pesan. Merepotkan sekali jika harus membalasnya setiap hari, aru."
Kali ini giliran si manik crimson yang merasakannya. Perasaan nyaman yang selalu diperoleh saat bersama dengan gadis bertubuh mungil itu. Mungkin ini hanya sebuah percakapan yang terdengar konyol. Namun, mereka telah mendalami perasaan keduanya tanpa disadari.
"Aku tidak tertarik denganmu." "Aku tidak tertarik denganmu."
Keduanya berucap bersamaan. Pandangan keduanya bertemu dibarengi senyuman kecil yang menghiasi wajah keduanya. Awan yang sejak tadi menghalangi kilau mentari perlahan bergeser. Menyalurkan kehangatan pada tiap-tiap jiwa yang berada dalam jangkauannya.
"Tapi, jika benang merah di kelingkingku terhubung denganmu..."
"Maka, tak ada pilihan lain selain menarik benang itu hingga kau berada di depanku."
Tidak peduli apakah itu benang yang kusut atau benang yang sangat panjang. Tak ada yang bisa memutuskan ikatan yang dibuat oleh Sang Pencipta. Meski saling membenci tapi jika ikatan itu terjalin dengan kuat maka keduanya akan terus bersama. Begitu pula sebaliknya, meski saling menyayangi tapi jika keduanya tak terikat maka perasaan itu akan lepas dengan mudahnya.
"Ingat ini dalam memorimu baik-baik, China."
"..."
"Sepuluh tahun lagi. Kau dan aku akan menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Kita mungkin akan disibukkan dengan urusan pekerjaan. Namun, di tanggal yang sama seperti hari ini tolong luangkan waktumu dan datanglah ke tempat ini jika sampai saat itu kau belum menikah."
Tangan mungilnya meraih batu kecil yang berserakan di sekitarnya. Melemparkannya asal ke dalam sungai yang terhampar di depannya. Menimbulkan gelombang kecil dan besar yang saling bersahutan.
"Kenapa kalimat itu terus berputar di memoriku, aru?"
Bergumam pada dirinya sendiri sembari mendekap erat kedua lututnya. Duduk sendirian di pinggir sungai pada pagi hari benar-benar memberikan ketenangan batin. Namun, tetap saja ia tak bisa menyingkirkan hal yang sudah mengganggunya sejak kemarin. Padahal tujuannya datang ke tempat ini adalah untuk menjernihkan pikiran.
Kagura sudah merelakan waktu tidurnya di hari minggu hanya untuk menenangkan diri di pinggir sungai. Apa yang terus terngiang di telinganya seolah membuat mentalnya terusik hingga gadis mungil itu tak bisa tenang. Kagura ingin mengabaikan semuanya dan bersikap seolah tak terjadi apapun tapi tentu saja tak semudah itu.
'Plung!'
Seseorang yang entah sejak kapan berada disana melemparkan batu ke dalam sungai. Berdiri beberapa meter di belakang gadis yang berlindung dibalik payung berwarna ungu. Kagura mendelik ketika langkah orang itu semakin mendekat.
"Apa kau sedang memikirkanku, China?"
"D-Dia...!"
"Apa kau masih shock dengan ucapanku malam itu?"
Kagura terdiam sementara laki-laki berambut cokelat terang kini duduk disampingnya. Tentu saja dengan jarak beberapa meter untuk menghindari serangan mendadak yang mungkin dilancarkan gadis mungil itu. Puluhan detik berlalu dan keduanya hanya mengatupkan bibir rapat-rapat. Angin berhembus sepoi-sepoi mengisi keheningan antara keduanya.
Sougo menarik napas dalam-dalam tanpa sepengetahuan gadis disampingnya. Tangannya lalu terulur memberikan sesuatu yang tak asing pada Kagura. Sebuah payung bermotif sakura yang memiliki cerita tersendiri.
"Terimakasih sudah meminjamkan benda busuk ini padaku."
Manik biru laut itu sontak menoleh menatapnya. Memperhatikan sosok berambut cokelat terang dengan seksama. Teringat olehnya bayangan tentang seorang bocah cengeng yang menangis di bawah hujan.
Perlahan tapi pasti tangan Kagura bergerak mengambil benda penuh kenangan itu. Sougo hanya menatap lurus ke depan dengan raut wajah seperti biasanya. Kosong tak berisi tapi dibalik topeng itu ia tersenyum.
"Benda ini menjadi busuk karena terlalu lama berada di tempatmu, aru."
"Seharusnya kau berterimakasih karena aku mau menyimpan benda busuk ini. Lain kali kau harus meninggalkan alamatmu saat meminjamkan sesuatu jadi aku bisa langsung mengembalikan benda busuk milikmu tanpa harus menyimpannya selama bertahun-tahun."
"Aku tidak pernah menyuruhmu mengembalikan payung itu, aru."
Kagura memperhatikan secara detil payung bermotif sakura miliknya. Tak ada debu yang menempel atau bau aneh yang mengganggu indera penciuman. Yang berubah dari payung itu hanya warnanya yang telah pudar.
"Kau menjaga benda busuk ini dengan sangat baik, aru."
"Aku hanya memakainya saat hujan deras agar debu dan bau yang menempel hilang terbawa air hujan. Dengan begitu aku tak perlu repot-repot membersihkannya."
Sougo menyahut dengan nada santai. Kagura menoleh dengan tatapan meledek. Sougo menyadari apa yang dipikirkan gadis itu dan seketika memasang mimik kesal. Sejak awal ia sudah tahu gadis itu akan membahas mengenai hal ini setelah ia mengembalikan payungnya.
"Ternyata bocah cengeng yang aku lihat saat itu benar-benar dirimu. Apa kau masih sering menangis di bawah hujan, aru? Apa aku harus membelikan sekotak tisu untuk mengelap ingusmu, aru? Aku merasa kasihan pada bocah menyedihkan ini, aru."
"Menangis adalah hal yang wajar bagi seorang bocah."
Sougo berusaha membela diri. Kagura hanya tertawa meledek dengan pandangan sama seperti sebelumnya. Ia merogoh saku celananya dan mengulurkan sebungkus sukonbu pada Sougo.
"Aku tidak punya tisu untuk membersihkan ingusmu jadi kau bersihkan saja menggunakan bungkus sukonbu ini, aru."
"Lebih baik kau menggunakannya untuk mengelap keringat dinginmu karena merasa gugup berhadapan denganku, China."
"Hah? Aku gugup karena orang sepertimu? Saat itu aku mengeluarkan keringat dingin karena menahan sakit di perutku bukan karena gugup akibat ucapanmu jadi jangan salah paham, aru."
"Jika kau bersikap tsundere seperti itu maka semuanya semakin jelas, China."
Sougo menyeringai puas setelah berhasil membalas Kagura yang tadi mengolok-oloknya dengan sebutan cengeng. Kagura yang merasa terpojok berusaha memikirkan berbagai macam alasan untuk menyanggah pernyataan Sougo.
" I-Itu karena kau membuatku terkejut. Aku sama sekali tidak senang mendengar pengakuanmu jadi jangan salah paham, aru."
Kagura tergagap dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak berani menatap manik crimson yang kembali membuatnya berdebar. Sougo tersenyum puas melihat Kagura yang mulai salah tingkah.
"Biasanya wanita akan terlihat manis dan mempesona saat bersikap tsundere tapi kau justru terlihat menyebalkan, China. Benar-benar membuatku mual."
Satu.
"Dan saat itu aku mengatakan bahwa aku terikat dengan 'gadis lugu' bukan 'gadis liar' jadi kau tidak perlu merasa gugup seperti itu."
Dua.
"Aku sering mengganggumu hanya untuk mengisi waktu luang jadi jangan mengharapkan hal yang lebih, China."
Tiga.
"Aku bukan laki-laki yang tertarik dengan hal-hal bodoh seperti cinta monyet atau hal konyol lainnya. Aku tidak bisa memperlakukan wanita selain kakakku dengan baik jadi aku tidak berniat menjalin hubungan sepasang kekasih apalagi denganmu."
'Bugh!'
Kagura akhirnya melayangkan tinju ke wajah Sougo setelah berusaha bersabar dengan semua celotehannya. Sougo terdiam bersamaan dengan rasa sakit yang mulai menyebar di kepalanya. Ia bisa saja menghindari pukulan Kagura tapi ia sengaja membiarkan gadis itu memukulnya.
Kagura pun menyadari hal itu. Tangannya gemetar ketika darah mengucur dari hidung Sougo. Padahal biasanya ia akan tertawa puas jika berhasil menghajar laki-laki itu tapi sekarang ia merasa aneh dan tak tega.
"Inilah alasannya kenapa aku tak ingin menjalin hubungan denganmu."
"..."
"Kau mungkin akan berhenti memukuliku dan aku akan berhenti mengolok-olokmu demi menjaga perasaan masing-masing sebagai pasangan. Bukankah hubungan yang seperti itu sangat membosankan?"
Sougo tersenyum kecil sembari memejamkan matanya. Manik biru laut itu membulat. Ribuan kupu-kupu kecil seolah terbang menggelitiki perut Kagura. Kalimat itu terdengar menyenangkan baginya. Lebih manis dari madu.
"Aku juga tidak menyukai hubungan seperti itu, aru."
"..."
"Kau akan bersikap posesif dan melarangku berteman dengan laki-laki lain dan mulai mengganggu waktu istirahatku dengan mengirimkan banyak pesan. Merepotkan sekali jika harus membalasnya setiap hari, aru."
Kali ini giliran si manik crimson yang merasakannya. Perasaan nyaman yang selalu diperoleh saat bersama dengan gadis bertubuh mungil itu. Mungkin ini hanya sebuah percakapan yang terdengar konyol. Namun, mereka telah mendalami perasaan keduanya tanpa disadari.
"Aku tidak tertarik denganmu." "Aku tidak tertarik denganmu."
Keduanya berucap bersamaan. Pandangan keduanya bertemu dibarengi senyuman kecil yang menghiasi wajah keduanya. Awan yang sejak tadi menghalangi kilau mentari perlahan bergeser. Menyalurkan kehangatan pada tiap-tiap jiwa yang berada dalam jangkauannya.
"Tapi, jika benang merah di kelingkingku terhubung denganmu..."
"Maka, tak ada pilihan lain selain menarik benang itu hingga kau berada di depanku."
Tidak peduli apakah itu benang yang kusut atau benang yang sangat panjang. Tak ada yang bisa memutuskan ikatan yang dibuat oleh Sang Pencipta. Meski saling membenci tapi jika ikatan itu terjalin dengan kuat maka keduanya akan terus bersama. Begitu pula sebaliknya, meski saling menyayangi tapi jika keduanya tak terikat maka perasaan itu akan lepas dengan mudahnya.
"Ingat ini dalam memorimu baik-baik, China."
"..."
"Sepuluh tahun lagi. Kau dan aku akan menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Kita mungkin akan disibukkan dengan urusan pekerjaan. Namun, di tanggal yang sama seperti hari ini tolong luangkan waktumu dan datanglah ke tempat ini jika sampai saat itu kau belum menikah."
~~~
/ Epilogue /
"Apa yang kau lakukan disini, Bakamui?"
"Ternyata kau benar-benar datang ke tempat ini."
Sougo menolehkan pandangannya ke segala arah. Mencari sosok yang diharapkannya muncul tapi nihil. Tak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain selain laki-laki berambut vermillion itu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa kecewanya agar tak terlihat mencolok.
"Aku datang untuk menyampaikan ini padamu."
Kamui memasang mimik serius ketika menyerahkan sebuah undangan berwarna cream pada Sougo. Jantungnya berdebar hebat menyadari bahwa itu adalah sebuah undangan pernikahan. Pikirannya seketika tertuju pada gadis yang dinantikannya selama ini bersamaan dengan perasaan aneh yang mulai mengerubunginya.
Sakit.
"Jadi, dia akan menikah?"
"Ya. Dia menitipkannya padaku."
Sougo mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tak berniat mengatakan apapun. Suaranya mungkin akan bergetar bahkan jika hanya mengucapkan satu kata. Dan ia tak ingin Kamui melihat dirinya yang seperti itu. Ia akan tersenyum meski palsu untuk gadis itu, pikirnya.
"Tolong sampaikan ucapan selamat untuknya dariku, Bakamui."
"Eh? Apa kau tak bisa menghadiri acaranya?"
Sougo mengangguk. Langkahnya mulai bergerak meninggalkan Kamui. Menatap nanar undangan yang masih ada dalam genggamannya. Namun, baru dua langkah sampai akhirnya sebuah suara yang tak asing memasuki indera pendengarannya.
"Ada apa dengan wajah sedihmu itu, aru?"
DEG!
Pandangan keduanya bertemu. Meluapkan kerinduan yang membuncah di benak masing-masing. Tak ada yang bergerak dari posisinya. Keduanya sibuk meneliti setiap perubahan yang terjadi pada manusia di depannya.
"China...?"
"Setelah sekian lama dan kau masih saja memanggilku seperti itu, aru."
"Kenapa kau datang ke tempat ini? Bukankah kau...?"
Kagura hanya mengerutkan keningnya. Bingung akan reaksi Sougo yang terlihat aneh. Kagura memusatkan perhatiannya pada undangan berwarna cream yang masih digenggam Sougo. Kamui yang masih berdiri disana hanya memperhatikan reuni mereka dengan antusias.
"Bukankah itu undangan dari Kotaro Sensei, aru?"
"Eh? Kotaro Sensei?"
Sougo mengerjapkan matanya beberapa kali. Membuka dan membaca cepat undangan yang sejak tadi hanya digenggamnya. Untuk beberapa saat ia merasa lega dan kemudian merasa seperti orang paling idiot di dunia ini.
"Jadi, ini undangan pernikahan Kotaro Sensei?!"
"Kenapa kau terkejut seperti itu, Ahokita-kun?"
"Eh?"
Sougo terpojok. Terlebih karena kesalahannya sendiri yang langsung menyimpulkan sesuatu tanpa melihat apa isi undangan tersebut. Kagura dan Kamui hanya memberikan tatapan lugu membuat nyalinya semakin menciut.
"Aku mengetahui tentang janji yang kalian buat sepuluh tahun lalu dari Kagura dan ia memintaku untuk menemaninya. Itulah kenapa aku juga datang ke tempat ini untuk menyampaikan undangan Kotaro Sensei karena Kagura merasa gugup bertemu denganmu setelah sekian lama."
"Hah? Siapa yang gugup hmmpph-"
Kamui membungkam paksa mulut adiknya sebelum gadis itu berceloteh panjang lebar. Sougo tersenyum kecil tanpa sepengetahuan keduanya. Ia lalu mendekat pada keduanya dan menyingkirkan tangan Kamui dari Kagura. Menarik lengan gadis vermillion itu lalu merangkulnya.
"Boleh aku meminjam adikmu sebentar, Aniki?"
Manik biru laut Kagura membulat sementara Kamui hanya menjawabnya dengan senyuman yang tak pernah berubah. Tangannya menunjukkan tiga jari tepat saat Sougo membawa adiknya masuk ke dalam mobil.
"300 ribu yen untuk setiap jamnya, Ahokita-kun."
"Oi! Apa kau sedang menjual adikmu, aru?!"
"Aku ingin meminjamnya seumur hidup jadi berapa total yang harus dibayar, Aniki?"
"..."
"Kau harus membayarnya dengan nyawamu jika adikku meneteskan satu saja air mata."
"..."
"Pastikan kau menjaganya." "Aku pasti menjaganya."
"Ternyata kau benar-benar datang ke tempat ini."
Sougo menolehkan pandangannya ke segala arah. Mencari sosok yang diharapkannya muncul tapi nihil. Tak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain selain laki-laki berambut vermillion itu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa kecewanya agar tak terlihat mencolok.
"Aku datang untuk menyampaikan ini padamu."
Kamui memasang mimik serius ketika menyerahkan sebuah undangan berwarna cream pada Sougo. Jantungnya berdebar hebat menyadari bahwa itu adalah sebuah undangan pernikahan. Pikirannya seketika tertuju pada gadis yang dinantikannya selama ini bersamaan dengan perasaan aneh yang mulai mengerubunginya.
Sakit.
"Jadi, dia akan menikah?"
"Ya. Dia menitipkannya padaku."
Sougo mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tak berniat mengatakan apapun. Suaranya mungkin akan bergetar bahkan jika hanya mengucapkan satu kata. Dan ia tak ingin Kamui melihat dirinya yang seperti itu. Ia akan tersenyum meski palsu untuk gadis itu, pikirnya.
"Tolong sampaikan ucapan selamat untuknya dariku, Bakamui."
"Eh? Apa kau tak bisa menghadiri acaranya?"
Sougo mengangguk. Langkahnya mulai bergerak meninggalkan Kamui. Menatap nanar undangan yang masih ada dalam genggamannya. Namun, baru dua langkah sampai akhirnya sebuah suara yang tak asing memasuki indera pendengarannya.
"Ada apa dengan wajah sedihmu itu, aru?"
DEG!
Pandangan keduanya bertemu. Meluapkan kerinduan yang membuncah di benak masing-masing. Tak ada yang bergerak dari posisinya. Keduanya sibuk meneliti setiap perubahan yang terjadi pada manusia di depannya.
"China...?"
"Setelah sekian lama dan kau masih saja memanggilku seperti itu, aru."
"Kenapa kau datang ke tempat ini? Bukankah kau...?"
Kagura hanya mengerutkan keningnya. Bingung akan reaksi Sougo yang terlihat aneh. Kagura memusatkan perhatiannya pada undangan berwarna cream yang masih digenggam Sougo. Kamui yang masih berdiri disana hanya memperhatikan reuni mereka dengan antusias.
"Bukankah itu undangan dari Kotaro Sensei, aru?"
"Eh? Kotaro Sensei?"
Sougo mengerjapkan matanya beberapa kali. Membuka dan membaca cepat undangan yang sejak tadi hanya digenggamnya. Untuk beberapa saat ia merasa lega dan kemudian merasa seperti orang paling idiot di dunia ini.
"Jadi, ini undangan pernikahan Kotaro Sensei?!"
"Kenapa kau terkejut seperti itu, Ahokita-kun?"
"Eh?"
Sougo terpojok. Terlebih karena kesalahannya sendiri yang langsung menyimpulkan sesuatu tanpa melihat apa isi undangan tersebut. Kagura dan Kamui hanya memberikan tatapan lugu membuat nyalinya semakin menciut.
"Aku mengetahui tentang janji yang kalian buat sepuluh tahun lalu dari Kagura dan ia memintaku untuk menemaninya. Itulah kenapa aku juga datang ke tempat ini untuk menyampaikan undangan Kotaro Sensei karena Kagura merasa gugup bertemu denganmu setelah sekian lama."
"Hah? Siapa yang gugup hmmpph-"
Kamui membungkam paksa mulut adiknya sebelum gadis itu berceloteh panjang lebar. Sougo tersenyum kecil tanpa sepengetahuan keduanya. Ia lalu mendekat pada keduanya dan menyingkirkan tangan Kamui dari Kagura. Menarik lengan gadis vermillion itu lalu merangkulnya.
"Boleh aku meminjam adikmu sebentar, Aniki?"
Manik biru laut Kagura membulat sementara Kamui hanya menjawabnya dengan senyuman yang tak pernah berubah. Tangannya menunjukkan tiga jari tepat saat Sougo membawa adiknya masuk ke dalam mobil.
"300 ribu yen untuk setiap jamnya, Ahokita-kun."
"Oi! Apa kau sedang menjual adikmu, aru?!"
"Aku ingin meminjamnya seumur hidup jadi berapa total yang harus dibayar, Aniki?"
"..."
"Kau harus membayarnya dengan nyawamu jika adikku meneteskan satu saja air mata."
"..."
"Pastikan kau menjaganya." "Aku pasti menjaganya."
~ END ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap untuk tidak berpromosi di kolom komentar dan berilah komentar dengan bahasa yang santun - Owner